Penyegelan Batu Satangtung: Dominasi Wacana "Agama" dan Bertahannya Praktik Diskriminasi terhadap Agama Lokal Sunda Wiwitan
DWIKI YULIAN R, Evi Lina Sutrisno, M.A., Ph.D.
2022 | Tesis | MAGISTER POLITIK DAN PEMERINTAHANPenelitian ini mendalami bagaimana kekuasaan bekerja sekaligus merawat bertahannya praktik diskriminasi terhadap agama lokal, khususnya Sunda Wiwitan, dengan menjadikan peristiwa penyegelan batu satangtung sebagai konteks penelitian. Penelitian ini juga ingin mendalami asal muasal cara pandang dikotomis dalam melihat agama lokal, berikut keterkaitannya dengan bertahannya praktik diskriminasi berbasiskan agama dan mendalami agensi mereka dalam pusaran diskriminasi. Untuk mendalami permasalahan tersebut penelitian ini meminjam gagasan Steven Lukes mengenai three dimensional view of power. Hal ini untuk membantu memberikan penjelasan tentang bagaimana kekuasaan memproduksi dan merawat praktik diskriminasi terhadap agama lokal. Peristiwa penyegelan batu satangtung kelompok Sunda Wiwitan Cigugur bukan hanya sebatas fenomena kebijakan namun dapat dimaknai sebagai fenomena kekuasaan. Peristiwa tersebut merefleksikan adanya pergeseran dimensi kekuasaan yang utuh. Wacana �agama� menjadi unsur dominan yang mendasari sekaligus juga menggerakkan berbagai narasi dan preferensi terhadap pembangunan bakal makam Sunda Wiwitan. Penelitian ini menemukan bahwa Sunda Wiwitan bukanlah kelompok pasif, tetapi mereka memiliki perlawanan atas dominasi dan tekanan dari kelompok mayoritas. Namun praktik resistensi yang dilakukan oleh kelompok Sunda Wiwitan tetap berada dalam cengkraman kekuasaan dominan, bahkan dalam beberapa kondisi justru turut berkontribusi pada semakin kukuhnya status quo. Berdasarkan peristiwa penyegelan batu satangtung ditemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi bertahannya praktik diskriminasi berbasis agama pada praktik keseharian. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1) Kuasa wacana �agama� yang masih dominan dan bertahan, dan hal ini berimbas pada normalisasi cara pandang dikotomis dalam memandang agama lokal; 2) Keberadaan kebijakan-kebijakan yang merugikan kelompok agama lokal masih dijadikan rujukan utama dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan; 3) Upaya resistensi yang dilakukan justru turut berkontribusi pada bertahannya stigmatisasi dan diskriminasi, bukan sebaliknya.
This research explores how power works and maintains the persistence of discriminatory practices against local religions, especially Sunda Wiwitan, by using the incident of the sealing of the batu satangtung as a research context. This research also wants to explore the origins of the dichotomous perspective in viewing local religion, along with its relation to the persistence of religion-based discrimination practices and to explore their agency in the vortex of discrimination. To explore this problem, this study borrows Steven Lukes' idea of a three-dimensional view of power. This is to help explain how power produces and maintains discriminatory practices against local religions. The incident of sealing the batu satangtung of the Sunda Wiwitan Cigugur group is not only a policy phenomenon but can be interpreted as a phenomenon of power. This incident reflects a shift in the dimensions of power as a whole. The discourse of "agama" is the dominant element that underlies and drives various narratives and preferences to the construction of the Sunda Wiwitan grave. This study found that the Sunda Wiwitan was not a passive group, but they had resistance to domination and pressure from the majority group. However, the practice of resistance carried out by the Sunda Wiwitan group remains in the grip of the dominant power, and it contributes to the strengthening of the status quo. Based on the incident of sealing the batu satangtung, it was found that the factors behind the persistence of religious-based discrimination practices in daily practice. These factors are: 1) The power of "agama" discourse which is still dominant and persists, and this has an impact on the normalization of a dichotomous perspective in viewing local religion; 2) The existence of policies that harm local religious groups are still used as the main reference in the religious life; 3) Resistance efforts that have been carried out contribute to the persistence of stigmatization and discrimination, not the other way around.
Kata Kunci : Kekuasaan, Diskriminasi, Wacana "agama", Penyegelan, Sunda Wiwitan.