PENYELENGGARAAN PERKAWINAN SEBAGAI ARENA REPRODUKSI PRAKTIK KULTURAL DAN ARENA KONTESTASI KAPITAL MASYARAKAT DESA SARANGLANG (Tinjauan Fenomenologis terhadap Praktik Ritual Perkawinan bagi Masyarakat Desa Saranglang Kecamatan Pemulutan Barat Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan))
SITI WAHYU VITA, Dr. Muhamad Supraja, M. Si
2022 | Tesis | MAGISTER SOSIOLOGIPenelitian ini bertujuan untuk mengkritisi Penyelenggaraan Perkawinan sebagai Arena Reproduksi Praktik Kultral dan Arena Kontestasi Kapital Masyarakat Desa Saranglang (Tinjauan Fenomenologis terhadap Praktik Ritual Perkawinan bagi Masyarakat Desa Saranglang Kecamatan Pemulutan Barat Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan). Penelitian ini berfokus pada reproduksi praktik kultural yang dilakukan oleh kelompok elit dan masyarakat dalam menciptakan praktik timbal-balik dan ruang aktualisasi. Penelitian ini jugaberusaha untuk menguak masyarakat yang berkontestasi. Argumen peneliti pada penelitian yaitu terjadi dinamikapraktik kultural yang semakin menguatkan praktik ekonomi dan ruang representasi. praktik kultur yang ada di Desa Saranglang boros ekonomi yang menjadi jeratan kelas bawah. Masyarakat sebaiknya meningalkan pekerjaan produktif dan memberikan sesuatu kepada penyelenggara, baik itu sebagai ambek ari atau membayar hutang. Peneliti menggunakan tokoh teori sosiologi bernama Marcel Mauss dan Pierre Bourdieu. Peneliti menggunakan teori Gift dari Mauss tentang pemberian-pengembalian sebagai balas budi dan Bourdieu untuk mengkritisi praktik Mauss tentang pertaruhan kapital ekonomi sebagai suatu uoaya investasi masa depan, mendapatkan prestige, dan menjadi eksis pada penyelenggaraan perkawinan. Peneliti juga menggunakan konsep Bourdieu tentang habitus dan selera untuk menjelaskan logika praktik, serta konsep strategi kapital untuk menjelaskan kontestasi masyarakat pada penyelenggaraan perkawinan. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, ibservasu, dan pengumpulan dokumen-dokumen lapangan. Novelty dari penelitian ini yaitu kompleksitas praktik timbal-balik dan ruang aktualisasi diri yang terbentuk bersamaan dari proses reproduksi selama 60 tahun. Pemberda antara Desa Saranglang dengan wilayah lain yaitu praktik tersebut tidak hanya pada satu tahapan, melainkan terdiri dari empat tahapan. Hasil dari penelitian ini yaitu terjadi dinamika praktik kultur masyarakat Desa Saranglang dari masyarakat yang altruis menjadi masyarakat yang transaksional dan eksistensi dalam kurun waktu 60 tahun. Dinamika tersebut terbagi menjadi empat fase. Fase pertama yaity sebelum tahun 1960 yaitu masyarakat altruis, kedua pada 1960an yaitu masyarakat resiprosikal menjaga solidaritas, ketiga yaitu tahun 1970an timbal balik sebagai kebutuhan dan investasi masa depan, dan ke-empat tahun 1980an-sekarang yaitu timbal-balik eksistensi. Dinamika tersebut tidak lepas dari adanya upaya masyarakat kelas atas mengkomersialkan praktik budaya yang menguntungkan mereka sendiri dan kelompok pemilik kapital. Sedangkan, masyarakat kelas bawah tidak mendobraknya karena timbal-balik yang dicatat menjadi kebutuhan. Masyarakat dengan kelas sosial berbeda berkontestasi untuk mendapatkan pengakuan, mempertahankan, dan meningkatkan status, serta menjadi semakin eksis di ruang sosial-budaya, terutama pada penyelenggaraan perkawinan. Anggota masyarakat berkontestasi menggunakan kapital yang mereka miliki untuk menguatkan kelasnya.
This thesis aimed to criticize the marriage arrangement as an arena for reproduction of cultural practices and an arena for capital contestation of Saranglang Villange community (Phenomenological review of Marriage Ritual Practices for the community of Saranglang Village, Pemulutan Barat District, Ogan Ilir Regency, South Sumatera). This thesis focused on the reproduction of cultural practice was carried out by elites and Saranglang society in creating of reciprocal practices and space for the self-actualization. This thesis also tried to uncover Saranglang contestation. Researcher argumentation for this thesis was there's dynamic cultural practice where the society strengthens economic practice and representation space. Cultural practice at Saranglang village were economincally extravagance practice which became a trap for the lower class. The society should leave their productive work and give something to wedding organizer, either as ambek ari or pay 'the debts' at four stages of marriage arrangement. Researcher used theori sociologists named Marcel Mauss and Pierre Bourdieu. Researcher used Mauss' gift theory about giving-back in return and Bourdieu to criticize Mauss. Bourdieu had argument that giving was like betting economic capital as a future investment, getting prestige, and being exist, in this case it was happened in the marriage arrangement. Researcher also used Bourdieu's concept about habitus to describe about logical practice concept of capital strategy to describe about contestation in marriage arrangement. Researcher used qualitative with phenomenological approach. Researcher used in-depth interview, observation, and field documents as data collection techniques for this thesis. The novelty of this thesis was about complexity of reciprocal practice and the space for self-actualization that was simultaneously from the 60 years reproduction process since before 1960 to present. The differences between Saranglang Village and other region were the reciprocal and actualization space not only in one stage, but in Saranglang Village there are four stages. The result of this thesis there were dynamics of community cultural practices in Saranglang Village from an altruist to a transactional society and existence within a period of 60 years. The dynamic was divided into four phases. First phase was happened before 1960 called as altruist society, second was 1960s called reciprocal society, third was 1970s as reciprocity as a future need and investment, the fourth phase 1980s present was reciprocity of existence. This dynamic couldn't separate from the effort of the upper class on commercializing cultural practices for their own benefit and the owner's capital. Meanwhile the lower-class society didn't break it because written reciprocity as their necessity. The society with different social classes competed to gain recognition, maintain and improve their social status, and also tried to be more exist in their social-culture space, especially in marriage arrangement. Community members did contestation used the capital that they had.
Kata Kunci : Penyelenggaraan Perkawinan, Habitus, Produksi Kultural, Kontestasi, eksistensi, Kelas Sosial