Pengelolaan Konflik Ruang Kota: Studi Kasus Peran FKKAU dalam Revitalisasi Kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta

MUHAMMAD FUAD, Dr. Nanang Indra Kurniawan, S.IP., M.P.A.

2022 | Tesis | MAGISTER KETAHANAN NASIONAL

Penelitian ini mengeksplorasi tentang konflik ruang kota yang mengalami perkembangan ekonomi pariwisata, khususnya di kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY memberi peluang bagi keraton, dan pemerintah menata ulang kawasan yang menjadi bagian dari Kawasan Sumbu Filosofi untuk menguatkan citra Keistimewaan DIY. Salah satu alasannya, karena problem tata ruang. Pemanfaatan Alun-alun Utara tidak lagi sesuai dengan fungsinya. Merujuk pada Perdais DIY Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kasultanan dan Kadipaten, penataan ruang dalam konteks keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai keistimewaan, serta keselarasan antara kelestarian lingkungan, sosial, dan ekonomi. Namun lahirnya UUK DIY beserta aturan turunannya justru membuat proses penataan menjadi rumit, karena harus sesuai dengan lima urusan keistimewaan DIY yang praktiknya cenderung sering mengorbankan kepentingan masyarakat. Ada dua hal yang dibahas dalam penelitian ini. Pertama, terkait kemunculan konflik, aktor-aktor yang terlibat, serta dinamika konflik dalam revitalisasi kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Kedua, membahas tentang peran Forum Komunitas Kawasan Alun-alun Utara atau FKKAU dalam pengelolaan konflik revitalisasi kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, selama rentang waktu tahun 2012 sampai dengan 2021. Sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian ini, Di antaranya teori tentang Analisis Aktor Konflik, Tahapan Konflik, Teori Gaya Konflik Thomas - Kilmann, Teori Segitiga Konflik Johan Galtung, Teori Pemberdayaan ACTORS, Teori Negosiasi dan Mediasi, serta Analisis Bawang Bombay. Adapun metodologi yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan keterlibatan peneliti sebagai Ketua Koperasi FKKAU Dalam konflik ini setidaknya ada tiga pihak yang terlibat sebagai aktor utama. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pemegang kuasa anggaran. Masyarakat yang mendominasi pengelolaan kawasan Alun-alun Utara untuk aktivitas ekonomi dan sosial. Sedangkan keraton adalah pemilik lahan yang rajanya juga sebagai Gubernur DIY. Momentum revitalisasi ini bersamaan dengan polemik sabda raja yang diduga kuat berkaitan erat dengan suksesi keraton sehingga menambah hiruk pikuk konflik dan perpecahan di masyarakat. Temuan lain yang juga muncul, revitalisasi kawasan Alun-alun Utara ini tidak lepas dari kepentingan politik internal keraton, khususnya jumenengan.

This research explored urban spatial conflicts against the backdrop of tourism economic development, especially in the North Square Area of the Yogyakarta Palace. The passage Number 13 of 2012 on the Privileges Act of Yogyakarta Special Region provided an opportunity for the palace and the government to reorganize the area that is part of the Philosophy Axis Area to strengthen the Special image of Yogyakarta Special Region. The rationale, among others, is the spatial problem. The utilization of the North Square Area no longer conforms to its intended function. Referring to the Regional Regulation of Yogyakarta Special Region Number 2 of 2017 on Spatial Planning of Sultanate Land and Regency Land, spatial planning in the context of privileges should stem from the privileged values, as well as the harmony between environmental, social, and economic sustainability. However, the passage of the Privileges Act of Yogyakarta Special Region and its derivative regulations has instead made the structuring more complicated since it has to comply with the five privileges of the Yogyakarta Special Region of which the practice tends to put aside public interests. This research discussed two issues. Firstly, it reviewed about the conflict emerged, the actors involved, and the dynamics of the conflict in the revitalization of the North Square Area of the Yogyakarta Palace. Secondly, it looked into the role of FKKAU or Community Communication Forum of North Square Area in the management of the revitalization conflict of the North Square Area of the Yogyakarta Palace from 2012 to 2021. A number of theories were used in this research, including the theory of Conflict Actor Analysis, Stages of Conflict, Theory of Conflict Styles of Thomas and Kilmann, Conflict Triangle Theory of Johan Galtung, ACTORS Empowerment Theory, Negotiation and Mediation Theory, and the Onion Analysis. The methodology was a qualitative research with the involvement of researchers as Head of FKKAU Cooperative. There are three parties involved as the main actors at least: the government as a policy maker and budget authority, the people dominating the North Square Area for economic and social activities, and the Palace as the rightful owner of the land whose king is also the Governor of Yogyakarta Special Region. The circumstance of revitalization coincided with the polemic of Sabda raja, which was strongly alleged to be closely related to the succession of the palace, thus adding to the commotion of conflict and division in the society. Another finding that emerged was that the revitalization of the North Square Area turned out to be inseparable from the internal political interests of the palace, specifically the jumenengan.

Kata Kunci : konflik, revitalisasi, penataan ulang, Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta, UUK DIY, FKKAU, konflik ruang kota, jumenengan.