Social Media and Public Participation (A Case Study on the Public Participation on Permendikbud No. 30 Tahun 2021 on Twitter)
GARRIN FATURRAHMAN, Dr. Phil. Ag. Subarsono, M.Si., M.A.
2022 | Skripsi | S1 MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIKIsu kekerasan seksual adalah sesuatu yang menjadi momok dan kekhawatiran yang dirasakan terutama oleh sivitas institusi pendidikan tinggi yang mencakup permasalahan-permasalahan seperti: isu relasi kuasa antara pelaku dan korban; penanganan isu kekerasan seksual oleh beberapa universitas; sampai sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelaku. Dalam menangani isu tersebut, Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan, memperkenalkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 tahun 2021 (Permendikbud No. 30 tahun 2021) yang menggarisbawahi kebijakan-kebijakan yang diformulasikan untuk menangani dan mengurangi kasus kekerasan seksual di universitas-universitas Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pesan-pesan yang dituju terhadap Permendikbud No. 30 tahun 2021 dalam konteks ruang publik digital, dan juga untuk memahami implikasi partisipasi publik terhadap kebijakan tersebut. Lantas, metode yang diaplikasikan dalam penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif mengingat cara tersebut dapat membantu peneliti dalam memahami arti pesan-pesan yang terkungkung dalam data, yang mana data akan dikumpulkan dan dikuantifikasi menggunakan text mining terhadap diskusi-diskusi yang terekam di media sosial. Analisa data akan menggunakan topic modelling, sentiment analysis, dan content analysis. Temuan dari penelitian ini ialah, pertama, Twitter adalah bentuk dari ruang publik digital yang memfasilitasi diskusi-diskusi seputar Permendikbud No. 30 tahun 2021 yang mana Twitter mengedepankan nilai inklusif (dimensi struktural) karena individu dari berbagai macam latar belakang mulai dari lembaga swadaya masyarakat, partai politik, hingga kelompok konservatif bisa ikut berpartisipasi dengan bebas, dan mereka yang aktif berdiskusi berasal dari kelompok-kelompok yang sebelumnya disebut (dimensi representasional) dan menghasilkan sudut pandang yang kontradiktif seperti yang ditunjukkan oleh tagar #DukungPermendikbudNo30 dan #CabutPermendikbudNo30. Kedua, Twitter bisa dilihat sebagai perantara yang memfasilitasi partisipasi publik karena mereka yang tergabung terbuka untuk ikut dalam proses kebijakan publik karena: (1) keresahan publik mengenai isu kekerasan seksual di perguruan tinggi; (2) kemunculan klaster-klaster pro, bridge, dan contra sebagai bagian dari diskusi kebijakan; (3) andil netizen dalam implementasi kebijakan setelah disahkannya Permendikbud No. 30 tahun 2021; (4) penggunaan Twitter dan Big Data Analysis (BDA) untuk mengukur intensitas persetujuan kebijakan terhadap Permendikbud No. 30 tahun 2021. Terakhir, menurut data yang terkumpul, bisa dilihat bahwa mereka yang datang dari klaster pro lebih banyak dari klaster-klaster lainnya, yang mana salah satu alasannya bisa diambil dari fakta bahwa mereka setuju akan poin-poin kebijakan tersebut atas dasar butuhnya kepastian hukum dan sanksi-sanksi terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Sexual violence is a prevalent issue widely concerned in a number of higher education institutions: the concerns of power relation issues between the perpetrator and the victim; the handling of these cases from some universities; to the sanctions given to the perpetrator. To address this problem, Nadiem Makarim, as the Minister of Education, introduced Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 (Permendikbud No. 30 Tahun 2021) which highlights regulations that are formulated to curb and deter sexual violence and harassment cases in local universities. This research aims to map out the messages aimed at Permendikbud No. 30 Tahun 2021 in the context of the digital public sphere and understand the extent of public participation in the regulation. To reach such objectives, the method applied in this research relies on a qualitative method as it can give light to comprehend the messages which were gathered and quantified using text mining on the discussions that are recorded on social media. This research will utilize topic modeling, sentiment analysis, and content analysis in analyzing the data. The findings of this research exhibits that, first, Twitter is a form of a digital public sphere that facilitates the discussions around Permendikbud No. 30 Tahun 2021, whereas it upholds the value of being inclusive (structural dimension) as any individuals from diverse backgrounds ranging from non-governmental organizations, political parties, to conservative groups are free to participate and that individuals from these groups are involved in the discussion (representational dimension) sparked debates which spawned differing viewpoints as shown by trending hashtags which are #DukungPermendikbudNo30 and #CabutPermendikbudNo30. Secondly, Twitter can be seen as a medium that facilitates public participation as they are open to being involved in the process of public policy as: (1) public concern regarding sexual violence issues in higher education institutions emerged; (2) the emergence of pro, bridge, and contra clusters as part of policy discussions; (3) the involvement of netizens in policy implementation after the enactment of Permendikbud No. 30 Tahun 2021; (4) the usage of Twitter and Big Data Analysis (BDA) to gauge the level of public acceptance towards the policy. Lastly, according to the data found, it can be seen that those coming from the pro clusters trump the other clusters, whereas one of the reasons is supported by the fact that they are in support of the policy, which calls for legal certainty and sanctions over sexual harassment acts.
Kata Kunci : Digital Public Sphere, Twitter, Public Participation and E-cycle Policy, Permendikbud No. 30