NARASI-NARASI PROPAGANDA DI MEDIA SOSIAL: Kajian Small Stories terhadap Grup Facebook Pendukung Jokowi (Pakde Jokowi) dan Grup Facebook Pendukung Prabowo (Prabowo untuk NKRI) dalam Kampanye Pemilihan Presiden 2019
TRIYONO LUKMANTORO, Prof. Dr. Heru Nugroho; Dr. Budiawan
2022 | Disertasi | DOKTOR KAJIAN BUDAYA DAN MEDIAGrup-grup Facebook pendukung kandidat presiden bermunculan dalam Pemilihan Presiden 2019. Terdapat dua grup Facebook yang menunjukkan jumlah anggota yang paling besar, yakni grup Facebook pendukung Joko Widodo (Jokowi) bernama Pakde Jokowi yang beranggotakan 668.690 akun; dan grup Facebook pendukung Prabowo, bernama Prabowo untuk NKRI, yang beranggotakan 625.924 akun. Masing-masing grup Facebook itu menampilkan narasi-narasi propaganda dengan memberikan puja-puji yang begitu tinggi kepada calon yang didukungnya dan, sebaliknya, menampilkan caci-maki kepada kandidat lain yang diposisikan sebagai musuh. Ada tiga permasalahan penelitian yang dikemukakan, yakni: (1) apa saja berbagai topik yang muncul sebagai narasi-narasi propaganda dalam grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo; (2) bagaimana terjadinya pertarungan narasi-narasi propaganda dari grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo; dan (3) berbagai ideologi dominan, kepentingan, dan kekuatan digital apa saja yang menentukan dalam pertarungan narasi-narasi propaganda pada grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo. Tiga tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis tema-tema yang muncul sebagai narasi-narasi propaganda dalam grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo; (2) menggambarkan dan menguraikan tentang pertarungan narasi-narasi propaganda dalam grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo; dan (3) mengungkap dan mengkritik berbagai ideologi dominan, kepentingan, dan kekuatan digital yang menentukan pertarungan narasi-narasi propaganda grup Facebook pendukung Jokowi dan grup Facebook pendukung Prabowo. Kerangka konseptual dalam penelitian ini ialah propaganda berlangsung dalam situasi konflik yang menunjukkan satu pihak harus melemahkan dan bahkan melenyapkan pihak lain yang dianggap musuh. Hal ini didorong spirit Manicheanisme yang menempatkan diri sebagai pemegang kuasa terang dan musuh sebagai pemegang kuasa gelap yang harus diperangi. Argumentasi-argumentasi yang dijalankan dalam propaganda bercorak partisan dan ideologis. Propaganda hanya bisa dimengerti dengan baik apabila ditampilkan dalam narasi-narasi yang menekankan kebenaran, otentisitas, keabsahan, dan keadilan bagi diri sendiri serta mengiblis-ibliskan dan mendelegitimasi pihak lain. Narasi-narasi propaganda itu dijalankan di media sosial yang memiliki karakteristik dua arah, tidak terpusat, menghindari kontrol negara, dan demokratis. Metodologi penelitian ini adalah studi tekstual bertipe deskriptif dengan pendekatan small stories. Pendekatan ini menempatkan narasi-narasi terbentuk dalam interaksi, mampu memperlihatkan pendirian politis para penuturnya, dan bisa mengungkap cara-cara penceritaan, situs-situs penceritaan, dan siapa saja para penutur narasi-narasi tersebut. Temuan-temuan penelitian ini adalah identitas kepemimpinan Jokowi yang digambarkan sebagai figur yang benar-benar dari rakyat, sederhana, santun, serta pemberani. Identitas kepemimpinan Prabowo ditunjukkan oleh latar belakang kemiliterannya dan berasal dari elite berpendidikan, sehingga dia dideskripsikan sebagai keturunan kaum terpelajar, patriotis, jujur, dan tegas. Pada afiliasi keislaman, Jokowi mengklaim mendapatkan dukungan dari dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sehingga dia digambarkan sebagai sosok pewaris semangat toleransi dan mampu menunjukkan kesalehan diri dengan menjalankan umrah. Prabowo berafiliasi dengan kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Klaim afiliasi keislaman Prabowo adalah dia merupakan figur pemimpin hasil ijtima ulama dan mendapatkan dukungan dari kalangan ustaz terkemuka. Pada kaitan dengan wilayah privat, Jokowi ditampilkan sebagai suami yang memiliki hubungan harmonis dengan istrinya serta akrab dengan anak maupun cucunya. Prabowo ditampilkan masih berinteraksi dengan Titiek Soeharto dan memperoleh dukungan dari mantan istrinya itu serta masih pula menjalin hubungan dekat dengan putra tunggalnya. Dalam kaitan dengan kedudukan kaum perempuan, Jokowi menyebut mereka sebagai Srikandi-Srikandi dan Ibu Bangsa; Prabowo menamakan mereka sebagai emak-emak. Narasi-narasi propaganda yang berlangsung dalam konteks pemilihan presiden ini tidak dengan sendirinya dapat dianggap sebagai realisasi dari netroots propaganda. Sebabnya adalah dalam konsep itu terdapat pemahaman bahwa propaganda ini dilakukan oleh para aktivis yang menyuarakan aspirasi-aspirasi genuine masyarakat bawah (akar rumput). Padahal, boleh jadi, narasi-narasi propaganda ini adalah realisasi dari political astroturfing, yakni simpati publik palsu yang sengaja dimobilisasikan. Narasi-narasi itu tidak juga tepat jika disebut sebagai hasil dari propaganda partisipatoris hanya dengan alasan netizen mampu berpartisipasi dengan pemakaian media digital. Tampaknya, lebih tepat jika narasi-narasi yang memuat dukungan maupun kecaman terhadap calon presiden tertentu itu merupakan perwujudan dari propaganda interaktif. Narasi-narasi propaganda tersebut terjadi dalam interaktivitas yang melibatkan kalangan pemain, baik akun-akun manusia konkret maupun sosok-sosok sintetis (bot dan berbagai akun palsu).
Facebook groups supporting the presidential candidate have sprung up in the 2019 Presidential Election. There are two Facebook groups that show the largest number of members, namely the Facebook group supporting Joko Widodo (Jokowi) named Pakde Jokowi with 668,690 members; and a Facebook group supporting Prabowo, named Prabowo untuk NKRI, which has 625,924 members. Each Facebook group presented propaganda narratives by giving high praise to the candidate it supported and, conversely, displaying scorn at another who were positioned as an enemy. There are three research problems raised, namely: (1) what are the various topics that appear as propaganda narratives in a Facebook group supporting Jokowi and a Facebook group supporting Prabowo; (2) how did the fighting for propaganda narratives from the Facebook group supporting Jokowi and the Facebook group supporting Prabowo; and (3) what are the dominant ideologies, interests and digital forces that determine the battle for propaganda narratives on the Facebook group supporting Jokowi and the Facebook group supporting Prabowo. The three objectives of this study are: (1) analysing the themes that have emerged as propaganda narratives in the Facebook group supporting Jokowi and the Facebook group supporting Prabowo; (2) describing and elaborating on the battle of propaganda narratives in the Facebook group supporting Jokowi and the Facebook group supporting Prabowo; and (3) exposing and criticizing the various dominant ideologies, interests and digital forces that determine the battle for propaganda narratives of the Facebook group supporting Jokowi and the Facebook group supporting Prabowo. The conceptual framework of this research is that propaganda takes place in a conflict situation, which shows that one party must weaken and even eliminate other parties who are considered enemies. This was driven by the spirit of Manicheanism, which positioned himself as the holder of the power of light and the enemy as the holder of the dark power that had to be fought. The arguments carried out in the propaganda are partisan and ideological. Propaganda can only be understood well if it is presented in the narratives that emphasize truth, authenticity, legitimacy and justice for oneself and demonize and delegitimize others. The propaganda narratives carried out on social media have the characteristics of being two-way, not centralized, avoiding state control, and are democratic. This research methodology is a descriptive textual study with small stories approach. This approach places the narratives formed in interactions, is able to show the narrative stance-taking of the speakers, and can reveal the ways of telling, sites of the stories, and who are the speakers of the narratives. \ The findings of this study are the identity of Jokowi's leadership which is described as a figure who is truly of the people, simple, polite, and brave. Prabowo's leadership identity is shown by his military background and originating from an educated elite, so that he is described as a descendant of an educated, patriotic, honest, and assertive class. On his Islamic affiliation, Jokowi claims to have the support of the two largest religious organizations in Indonesia, namely Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, so that he is described as a figure who inherits a spirit of tolerance and is able to show self-righteousness by carrying out Umrah. Prabowo is affiliated with Islamic groups that are considered radical and are critical of the government. Prabowo's claim of Islamic affiliation is that he is a leading figure resulting from the ijtima ulama and has received support from prominent ustaz circles. In relation to the private area, Jokowi is shown as a husband who has a harmonious relationship with his wife and is close to his children and grandchildren. Prabowo is shown still interacting with Titiek Soeharto and getting support from his ex-wife and still having a close relationship with his only son. In relation to the position of women, Jokowi referred to them as Srikandi-Srikandi and Ibu Bangsa (Mother of the Nation); Prabowo named them as emak-emak. The propagandistic narratives taking place in the context of the presidential election cannot in itself be considered as the realization of netroots propaganda. The reason is that in this concept, there is an understanding that this propaganda is carried out by activists who voice the genuine aspirations of the grassroots community. In fact, it is possible that these propaganda narratives are the realization of political astroturfing, namely false public sympathy which is deliberately mobilized. These narratives are also inappropriate to call them the result of participatory propaganda on the grounds that netizens are able to participate with the use of digital media. It seems that it is more appropriate if the narratives that contain both support and criticism of a particular presidential candidate are the manifestation of interactive propaganda. The propaganda narratives occur in interactivity involving the players, both concrete human accounts and synthetic figures (bots and various fake accounts).
Kata Kunci : propaganda narratives, Facebook groups, small stories, 2019 Presidential Election.