Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Cihideung Kota Tasikmalaya
SALZIA RAIHAN, Dr. Ambar Widaningrum, M.A.
2022 | Skripsi | S1 MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIKKoalisi advokasi menjadi salah satu cara interaksi para aktor kebijakan untuk memengaruhi kebijakan, tidak terkecuali dalam kebijakan penataan PKL di Cihideung Kota Tasikmalaya. Terdapat dua koalisi advokasi, yakni peduli estetika lingkungan dan hak PKL non Cihideung yang disebut koalisi advokasi Pepmatas, dan peduli hak PKL Cihideung yang disebut koalisi advokasi Paguyuban PKL Cihideung. Masing-masing koalisi advokasi memiliki keyakinan, sumber daya, dan strategi yang berbeda. Penyelesaian permasalahan ditengahi oleh broker kebijakan dan diputuskan oleh otoritas formal. Penelitian ini mengkaji kebijakan penataan PKL di Cihideung dan keberhasilan advokasi dengan menggunakan advocacy coalition framework (ACF). ACF berguna untuk memahami dan menjelaskan interaksi para pelaku kebiijakan dalam proses kebijakan yang dapat menghasilkan perubahan kebijakan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Data diperoleh dari dokumentasi, studi kepustakaan, observasi dan wawancara. Informan yang dipilih adalah para pedagang kaki lima di Cihideung, pengurus perkumpulan pedagang masyarakat Tasikmalaya (Pepmatas), dan pegawai Pemerintah Kota Tasikmalaya, Dinas KUKM Kota Tasikmalaya, dan para anggota Komisi II DPRD Kota Tasikmalaya yang menangani bidang industri dan perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak-pihak yang bergabung dalam koalisi advokasi didasarkan pada pembagian fungsi kerja dan kesamaan keyakinan terhadap isu yang diperjuangkan. Koalisi advokasi Pepmatas unggul dalam sumber daya opini publik, informasi, pasukan mobilisasi, finansial, dan kepemimpinan, sementara koalisi advokasi Paguyuban PKL Cihideung unggul dalam sumber daya otoritas legal formal. Koalisi advokasi Pepmatas menggunakan strategi advokasi non litigasi, legislasi - perundangan dan peraturan, dan jejaring, sementara koalisi advokasi Paguyuban PKL Cihideung menggunakan strategi advokasi non litigasi, dan jejaring. Komisi II DPRD dan Pemerintah Kota berperan sebagai broker kebijakan. Meskipun koalisi advokasi Pepmatas unggul dalam sumber daya dan strategi advokasi, namun keputusan yang diambil oleh otoritas formal yakni walikota berupa konsep pedestrian lebih menguntungkan paguyuban PKL Cihideung. Hal ini menunjukkan bahwa keunggulan sumber daya dan strategi dari koalisi advokasi tidak menjamin keberhasilan mengartikulasikan keyakinan dalam kebijakan aktual sebab keputusan akhir berada di tangan otoritas formal.
Advocacy coalitions are a way of interacting with policy actors to influence policy, not least in the PKL structuring policy in Cihideung, Tasikmalaya City. There are two advocacy coalitions, namely those who care about environmental aesthetics and the rights of non-Cihideung street vendors called the Pepmatas advocacy coalition, and those who care about the rights of Cihideung street vendors called the advocacy coalition of the Cihideung PKL Association. Each advocacy coalition has different beliefs, resources, and strategies. Resolution of issues is mediated by policy brokers and decided by formal authorities. This study examines the policy of structuring street vendors in Cihideung and the success of advocacy using the advocacy coalition framework (ACF). ACF is useful for understanding and explaining the interactions of policy actors in the policy process that can result in policy change. This research uses a descriptive qualitative method with a case study approach. Data was obtained from documentation, literature study, observation, and interviews. The informants selected were street vendors in Cihideung, administrators of the Tasikmalaya community traders association (Pepmatas), and employees of the Tasikmalaya City Government, the Tasikmalaya City KUKM Service, and members of Commission II of the Tasikmalaya City DPRD who handle industry and trade. The results of the study indicate that the parties who join the advocacy coalition are based on the division of work functions and the common belief in the issues being fought for. The Pepmatas advocacy coalition excels in resources for public opinion, information, mobilization forces, finance, and leadership, while the Paguyuban PKL Cihideung advocacy coalition excels in formal legal authority resources. The Pepmatas advocacy coalition uses non-litigation advocacy strategies, legislation and regulations, and networks, while the Cihideung PKL Paguyuban advocacy coalition uses non-litigation advocacy strategies and networks. Commission II of the DPRD and the City Government act as policy brokers. Although the Pepmatas advocacy coalition excels in resources and advocacy strategies, the decision taken by the formal authority, namely the mayor, in the form of the pedestrian concept is more favorable to the Cihideung PKL community. This shows that the resource and strategic advantage of the advocacy coalition does not guarantee the success of articulating confidence in the actual policy because the final decision rests with the formal authorities.
Kata Kunci : Kebijakan Publik, Advocacy Coalition Framework, Pedagang Kaki Lima / Public Policy, Advocacy Coalition Framework, Street Vendor