PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERSTRUKTUR: APAKAH BERKONTRIBUSI TERHADAP PENURUNAN PREMARITAL SEX PADA REMAJA AWAL?
GRHASTA DIAN P, Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D.; Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D.
2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU KEDOKTERAN DAN KESEHATANLatar Belakang: Pada remaja awal (10-14 tahun), hubungan seksual merupakan perilaku berisiko. Namun prevalensi premarital sex dan hubungannya dengan riwayat pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja awal di Indonesia belum banyak diteliti. Metode: Studi cross-sectional, mixed-methods sequential explanatory research, dilakukan kepada 180 remaja awal yang rentan melakukan premarital sex (RAYRMPS) menggunakan metode respondent driven sampling (RDS) dilakukan pada Juli-Oktober 2019 di Kota Semarang. Selanjutnya, penelitian diikuti dengan studi kualitatif kepada 14 remaja awal dan 22 penyelenggara dan pelaksana pendidikan kesehatan reproduksi terstruktur pada November 2019-Februari 2020 untuk mengevaluasi pendidikan kesehatan reproduksi. Estimasi prevalensi premarital sex dengan metode RDS diperoleh dari RDSAT versi 7.1.46, adjusted odds ratio (AOR) diperoleh dari analisis regresi logistik berganda dengan Stata 13 dan koding pada analisis studi kualitatif dengan Nvivo 12. Hasil: Prevalensi perilaku premarital sex pada RAYRMPS sebesar 36,8% (95% CI: 28,4-49,5). Derajat paparan yang tinggi tentang pendidikan kesehatan reproduksi dapat menurunkan peluang remaja untuk terlibat dalam perilaku premarital sex (AOR: 0,01, 95% CI: 0,00-0,11). Pendidikan kesehatan reproduksi yang sumbernya gabungan dari dua jenis pendidikan (sumber pendidikan terstruktur dan tidak terstruktu) dapat menurunkan peluang remaja untuk terlibat dalam perilaku premarital sex (AOR: 0,13, 95% CI: 0,02-0,75). Rancangan pendidikan kesehatan reproduksi dari lembaga luar sekolah sesuai dengan harapan remaja, tetapi pelaksanaannya pendidikan kesehatan reproduksi yang ada di mata pelajaran sekolah lebih mudah untuk dijangkau oleh remaja. Kesimpulan: Penemuan utama dari penelitian ini adalah diketahuinya perilaku premarital sex telah terjadi pada remaja awal dan pendidikan kesehatan reproduksi yang terstruktur mampu menurunkan peluang remaja untuk terlibat dalam premarital sex. Oleh karena itu, remaja awal membutuhkan pendidikan kesehatan reproduksi terstruktur yang komprehensif untuk meningkatkan kesehatan reproduksinya.
Background: In early adolescence (10-14 years), sexual intercourse is a risky behavior. However, the prevalence of sexual intercourse among early adolescents and its correlation with a reproductive health education in Indonesia is not been widely studied. Methods: A cross-sectional, mixed-methods sequential explanatory research, was conducted among 180 early adolescents who are prone to sexual intercourse (EAWAPTSI) using respondent driven sampling (RDS) method. The quantitative study was conducted in July-October 2019 in Semarang City. A qualitative study followed with 14 early adolescents and 22 providers and implementers of structured reproductive health education, conducted in November 2019-February 2020 to evaluate reproductive health education. Population prevalence estimates adjusted for the RDS design were produced using the RDSAT version 7.1.46, adjusted odds ratio (AOR) was obtained from the multiple logistic regression analysis using Stata 13 and coding on qualitative studies was generated with Nvivo 12. Results: The prevalence of sexual intercourse among EAWAPTSI was 36.8% (95% CI: 28.4-49.5). A high exposure to reproductive health education can reduce the involvement of adolescents in sexual intercourse (AOR: 0.01, 95% CI: 0.00-0.11). The sources of reproductive health education that included a combination of two types of education (structured and unstructured education sources) can reduce the involvement of adolescents in sexual intercourse (AOR: 0.13, 95% CI: 0.02-0.75). The design of non-school based reproductive health education was in accordance with the expectations of early adolescents, but the implementation of school based reproductive health education is more accessible to them. Conclusion: The main findings of this research indicated that premarital sex has occurred in early adolescents and structured reproductive health education can reduce the chances of adolescents to engage in premarital sex. Therefore, early adolescents need comprehensive reproductive health education to improve their reproductive health.
Kata Kunci : pendidikan kesehatan reproduksi, premarital sex, sexual intercourse, remaja awal, respondent driven sampling, RE-AIM, Kirkpatrick