Laporkan Masalah

Subjek dalam Hegemony Wacana Populisme Kandidat Presiden 2019 sebagai Penanda Mengambang di Era Post-Truth

FINSENSIUS YULI P, Prof. Dr. Heru Nugroho; Dr. Sugeng Bayu Wahyono

2022 | Disertasi | DOKTOR KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Studi ini bertujuan untuk menganalisis subjek dalam momen Pilpres 2019 yang ditandai dengan menguatnya wacana populisme dari dua kandidat Presiden di media sosial Twitter dari perspektif pascastrukturalis. Rumusan masalah penelitian ini: bagaimana kedua kandidat memfiksasi hegemoni wacana populisme, bagaimana dekonstruksi atas hegemoni wacana populisme tersebut, dan pembentukan subjek di era post-truth. Metode yang digunakan adalah strategi analisis diskursif Laclau dan Mouffe. Pengumpulan data dan visualisasi dilakukan dengan menggunakan tidyverse library pada perangkat lunak R Program. Hasil analisis menunjukkan tiga temuan utama. Pertama, populisme sebagai penanda mengambang masing-masing difiksasi dengan logika kesepadanan pembangunan dan identitas Islam. Keduanya berebut makna pada konsep ke- Indonesia-an dan identitas ke-Islam-an. Jokowi dengan populisme pembangunan memanipulasi identitas nasionalisme dalam titik simpul "rakyat Indonesia maju, program-program pembangunan, TNI-Polri penjaga stabilitas pembangunan, dan anak muda�. Demikian pula Prabowo menggunakan populisme Islam dengan dua titik simpul: "identitas islam dan logika anti-elite�. Keduanya berupaya menciptakan fiksasi melalui mitos pembagunan dan logika anti elite dengan nalar post-truth (Prabowo). Dengan kata lain, keduanya melakukan altekonisasi dengan berupaya menghilangkan wacana alternatif. Temuan kedua menunjukkan beberapa celah (incompleteness) dari hegemoni wacana populisme kedua kandidat. Meskipun diartikulasikan secara berbeda namun menunjukkan ciri sama, yaitu populisme machiavellian. Terdapat sejumlah kontradiksi internal dalam wacana �Jokowi adalah Kita� dari kubu Jokowi, maupun wacana anti-elite dari Prabowo. Ketidaklengkapan tersebut ditutup dengan secara sengaja menciptakan �musuh bersama� yang berfungsi sebagai constitutive outside. Jokowi menggaet kelompok "rakyat, anak muda, kelompok nasionalis, islam, dan TNI-Polri� dan menunjuk �politisi sontoloyo, perusuh, radikalisme dan terorisme, fitnah, dan post-truth� sebagai musuh bersama. Sementara itu, Prabowo menyatakan dirinya mewakili kelompok islam (radikal), dalam kelompok-kelompok "(umat) Allah, ulama, Habaib, rakyat, emak-emak militan� dan menyatakan "elite korup dan komprador� sebagai lawan. Ketiga, di ruang digital, subjek algoritmik berkelindan dengan tiga level politik di media sosial: hardware, software, dan wetware. Hegemoni wacana populisme menciptakam masing-masing dua posisi subjek antagonistik dan membentuk subjek yang mengenali dirinya secara salah sebagai sebuah kepenuhan ketika �bersatu dengan elite yang ia dukung� dalam sebuah nalar post-truth. Akan tetapi, upaya fiksasi populisme dari kedua kandidat disubversi oleh kemunculan wacana alternatif oleh wacana golput dan parodi pasangan Nurhadi-Aldo di Twitter dengan lack yang berbeda.

This study aims to analyze the subject of the 2019 Presidential Election which was marked by the strengthening of the populist discourse of the two presidential candidates on Twitter from a post-structuralist perspective. The formulation of the research problem: how the two candidates fix the hegemony of populism discourse, how to deconstruct the populism discourse hegemony and the formation of the subject in the post-truth era. The method used is the analysis of Laclau and Mouffe's discursive strategy. Data collection and visualization are done using a neat library in the R Program software. The results of the analysis showed three main findings. First, populism as a floating signifier is each fixed with the logic of development equivalence and Islamic identity. Although they are articulated differently, they show the same characteristics, namely Machiavellian populism. Both candidates are politicizing identity to gain as much support as possible. Jokowi with development populism utilizes the identity of nationalism in the knot "the Indonesian people are advanced, development programs, the TNI-Polri protect development, and young people". Likewise, Prabowo uses Islamic populism with two knots: "Islamic identity and anti-elite logic". The two discourses of populism seek to create a development myth (Jokowi) and a myth of anti-elite logic with post-truth reasoning (Prabowo). In other words, both of them do altekonization by trying to eliminate alternative discourse. The second finding shows some gaps in the hegemony of the two candidates' populist discourse. There are some internal contradictions in the "Jokowi is We" discourse from the Jokowi camp, as well as the anti-elite discourse from Prabowo. The incompleteness is closed by deliberately creating a �common enemy� that functions as constitutive on the outside. Jokowi appealed to the "people, youth, nationalist, Islamic, and TNI-Polri groups" and appointed "sontoloyo politicians, rioters, radicalism and, slander, and post-truth" as common enemies. Meanwhile, Prabowo stated that he represented Islamic groups (radical), in the groups "(people of) Allah, ulama, Habaib, people, militant mothers" and declared "corrupt elites and compradors" as opponents. However, the effort to activate political boundaries was subverted by the emergence of alternative discourses by discourses. abstention and parody of the Nurhadi-Aldo couple on Twitter. Third, in the digital space, algorithmic subjects are intertwined with three political levels in social media: hardware, software, and wetware. The hegemony of populist discourse creates two antagonistic subject positions in each and forms a subject that falsely recognizes itself as a fulfillment when "unified with the elite it supports" in a post-truth reasoning. However, the populist fixation efforts of the two candidates were subverted by the emergence of alternative discourses by the abstention discourse and the parody of the Nurhadi-Aldo pair on Twitter with different shortcomings.

Kata Kunci : Subjek, Populisme, Penanda Mengambang, Post-Truth, Pilpres 2019

  1. S3-2022-433536-abstract.pdf  
  2. S3-2022-433536-bibliography.pdf  
  3. S3-2022-433536-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2022-433536-title.pdf