Mengungkap Realitas Joki Cilik dalam Bingkai Budaya Lokal Pacuan Kuda di Sumbawa
DIDIN ROHMANUDDIN, Nurhadi, S.Sos, M.Si, Ph.D
2021 | Tesis | MAGISTER PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAANINTISARI Budaya pacuan kuda dengan melibatkan anak usia 6-12 tahun sebagai joki cilik di Sumbawa menjadi sorotan dan kecaman dalam kacamata para pemerhati anak, khususnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Pelibatan anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai joki cilik ini dituding sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak-anak. Fenomena ini muncul ke publik dan menjadi catatan hitam pada pacuan kuda dengan joki anak pasca insiden meninggalnya salah seorang joki cilik pada pacuan kuda yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT TNI ke 67 memperebutkan piala wali kota Bima tahun 2019. Peristiwa tersebut mendorong para pemerhati anak untuk menghentikan praktik pelibatan anak-anak yang dipekerjakan sebagai joki cilik dalam pacuan kuda di NTB ini. Di sisi lain, pacuan kuda dengan joki cilik ini telah terkonstruksi dalam masyarakat sebagai praktik Budaya masyarakat yang secara turun-temurun terus dipertahankan. Isu ini kemudian menjadi menarik untuk dibedah mengingat adanya pro kontra antara upaya perlindungan anak di satu sisi dan pandangan kultural masyarakat dalam memaknai anak sebagai joki cilik di sisi yang lain. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menggali dan mendeskripsikan pandangan kultural masyarakat dalam melihat fenomena joki cilik yang telah bertahan hingga saat ini sekaligus memotret pandangan tentang tuduhan eksploitasi terhadap anak yang menjadi joki cilik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan case study melibatkan 7 anak yang menjadi joki berusia antara 6-12 tahun, orang tuanya, budayawan, dan Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Sumbawa. Wawancara secara mendalam dilakukakan dengan anak dan orang tuanya untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka yang berbeda-beda tentang kehidupannya sebagai joki cilik. Pada bagian refleksi, studi ini kemudian berusaha memaknai kembali persepsi masyarakat (anak yang menjadi joki, orang tua, budayawan, dan LPA) dalam melihat fenomena joki cilik, baik pada pandangan yang berkiblat pada ideologi universalisme maupun relativisme kultural. Penelitian ini sama sekali tidak bermaksud mendukung eksploitasi anak, namun lebih melihat pada bagaimana praktik joki cilik ini dimaknai secara kultural oleh masyarakat setempat, dimana masa kanak-kanak tidak dapat dimaknai secara tunggal. Hasil riset ini menentang pandangan universal bahwa pekerja anak (anak yang menjadi joki) merupakan aktivitas yang merugikan dan merusak kesejahteraan anak-anak, melainkan harus memperhatikan konteks lokal dan mendengar lebih dekat pandangan anak-anak dan orang tuanya tentang sisi positif dan manfaat atas aktivitas mereka, dalam hal ini praktik joki cilik yang telah menjadi budaya turun-temurun dalam masyarakat. Tidak melarang anak-anak dalam bekerja bukan berarti kita berlepas tangan terhadap aspek perlindungan dan keamanan mereka.
ABSTRACT Horse racing culture involving children aged 6-12 years as little jockeys in Sumbawa has become a spotlight and criticism in the eyes of child observers, especially the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) and the Child Protection Agency (LPA). The involvement of minors who are employed as little jockeys is accused of being a form of exploitation of children.This phenomenon appeared to the public and became a black record in horse racing with child jockeys after the incident of the death a child jockey in the horse race that held to commemorate the 67th TNI Anniversary to reach for Bima's Mayor thropy in the last 2019. This incident prompted child observers to stop the practice of involving children as child jockeys in horse racing in NTB. On the other hand, horse racing with child jockeys has been constructed in the community as a cultural practice of the local community which has been maintained for generations. This issue becomes interesting to examine considering the pros and cons between child protection efforts on the one hand and the cultural view of society in interpreting children as child jockeys on the other. Therefore, this study seeks to explore and describe the cultural views of the community in seeing the phenomenon of little jockeys that have survived to this day and at the same time portraying views about allegations of exploitation of children who become child jockeys. This study uses a qualitative method with a case study approach involving 7 children who become jockeys aged between 6-12 years, their parents, cultural observers, and the Sumbawa Regency Child Protection Agency. In-depth interviews were conducted with the children and their parents to reveal their different understandings and experiences about their life as little jockeys. In the reflection section, this study then tries to reinterpret the perceptions of society (children who become jockeys, parents, culturalists, and LPA) in seeing the phenomenon of little jockeys, both in terms of views that are oriented towards the ideology of universalism and cultural relativism. This research does not at all intend to support the exploitation of children, but rather looks at how the practice of this child jockey is interpreted culturally by the local community, where childhood cannot be interpreted singly. The results of this research challenge the universal view that child labor is an activity that damages the welfare of children (Child jockey), but must pay attention to the local context and listen more closely to the views of children and their parents about the positives and benefits of their activities, in this case the practice of child jockeys which become a hereditary culture in society. Not prohibiting children from working does not mean that we give up on their protection and safety aspects.
Kata Kunci : Joki Cilik, Budaya Lokal, Eksploitasi Anak, Pacuan Kuda