Laporkan Masalah

Bermula dari Kesadaran: Telaah Feminisme Pascakolonial Pada Karya Sastra Dari Dalam Kubur

CINTYA FALIANA DEWI, Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D

2021 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Kehadiran Dari Dalam Kubur yang ditulis oleh Soe Tjen Marching mengangkat cerita tentang kehidupan seorang perempuan ET beretnis Tionghoa yang harus melahirkan seorang anak dari hasil pemerkosaan tentara terhadap dirinya. Novel ini berbeda serta menjadi penting untuk dianalisis sebab 1) menawarkan interseksionalitas dalam penokohannya, dan 2) menjadi satu dari sedikit novel yang memiliki kesadaran wacana kolonial. Dari Dalam Kubur dianalisis menggunakan kacamata feminisme pascakolonial untuk memberikan gambaran baru kepada pembaca bahwa opresi perempuan tidak hanya terjadi karena gender atau seksualitasnya, namun lebih luas dapat terjadi karena kelas, ras/etnis, maupun situasi politik negaranya. Chandra T. Mohanty dalam Feminism Without Border berulangkali menekankan bahwa feminisme pascakolonial adalah upaya untuk menulis ulang sejarah berdasar lokasi sekaligus histori perjuangan perempuan kulit berwarna secara spesifik dan khusus, termasuk strategi mereka untuk bertahan dari hari ke hari dengan cara yang berbeda. Sebelum menganalisis opresi berlapis yang dialami oleh tokoh utama, Djing, penting memahami latar belakang kondisi politik Indonesia yang digunakan dalam novel; Orde Baru. Penelitian ini melihat Orde Baru melakukan praktik kolonialitas kekuasaan dengan mereplikasi upaya kolonial Eropa seperti teori Anibal Quijano. Berangkat dari gagasan kolonialitas kekuasaan Orde Baru, kesimpulan penelitian ini menilai bahwa Dari Dalam Kubur tidak hanya menawarkan kesadaran pascakolonial dan interseksionalitas. Lebih jauh juga berupaya untuk melakukan dekolonisasi dengan keluar dari kerangka pikir atau subjektivitas kolonialitas kekuasaan Orde Baru. Dari Dalam Kubur juga menawarkan emosi sebagai pengalaman paling privat setiap individu adalah sesuatu yang layak untuk dicatat dalam sejarah sebab emosi yang dikonstruksikan oleh budaya dan kondisi sosial, ekonomi, politik masyarakat meresap sekaligus memengaruhi memori individu maupun memori kolektif. Sayangnya, feminisme pascakolonial yang digunakan sebagai teori juga tidak dapat mengakomodir dampak opresi terhadap pengalaman perempuan antargenerasi. Selain itu, tak terelakkan setiap teks mengandung ambivalensi penulisnya masing-masing. Begitu juga dengan Dari Dalam Kubur yang tanpa disadari masih memiliki subjektivitas Orde Baru di dalamnya.

The presence of Dari Dalam Kubur which was written by Soe Tjen Marching tells the story of the life of a Chinese ET woman who has to give birth to a child as a result of the army's rape of her. This novel brings new color and is important to analyze because 1) it offers intersectionality in its characterizations, and 2) it is one of the few novels that have a consciousness of colonial discourse. Dari Dalam Kubur is analyzed using post-colonial feminism to give readers a new picture that women's oppression does not only occur because of their gender or sexuality, but more broadly because of class, race/ethnicity, and the political situation of their country. Chandra T. Mohanty in Feminism Without Border has argued postcolonial feminism for the rewriting history based on the specific locations and histories of the struggle people of color and postcolonial peoples and on the day-to-day strategies of survival utilized by such peoples. Before analyzing the simultaneity of oppression experienced by the main character, Djing, it is important to understand the background of the Indonesian political conditions used in the novel; The New Order. This research looks at the New Order's practice of coloniality of power by replicating European colonial efforts according to Anibal Quijano's theory. Departing from the idea of coloniality of New Order power, the conclusion of this study is that Dari Dalam Kubur does not only offer postcolonial awareness and intersectionality. Furthermore, it also seeks to carry out decolonization by getting out of the framework of thought or subjectivity of the coloniality of New Order power. Dari Dalam Kubur also offers narration that shows emotion as the most private experience of each individual is something that deserves to be recorded in history because emotions constructed by culture and social, economic, political conditions of society permeate and affect individual and collective memory. Unfortunately, postcolonial feminism as a theory also cannot accommodate the impact of oppression on the experience of intergenerational women. However, each text inevitably contains the ambivalence of its respective authors. Likewise with Dari Dalam Kubur which unwittingly still has the subjectivity of the New Order in it.

Kata Kunci : feminisme pascakolonial, interseksionalitas, Dari Dalam Kubur, kolonialitas kekuasaan, kesadaran, wacana kolonial

  1. S1-2021-399404-abstract.pdf  
  2. S1-2021-399404-bibliography.pdf  
  3. S1-2021-399404-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2021-399404-title.pdf