Pola Spasial Kesediaan Pemilik Lahan Untuk Mendukung Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kota Metro

ARBIYANSAH K, Retno Widodo Dwi Pramono, S.T., M.Sc., Ph.D.

2021 | Tesis | MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan bahwa konservasi lahan pertanian pangan di perkotaan harus dilestarikan karena berkontribusi untuk membuat kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutanserta mendukung kedaulatan pangan. Di Indonesia hal ini dituangkan dalam kebijakan LP2B yang tertuang dalam UU no 41/2009, yang kemudian dikuti dengan peraturan-peraturan dibawahnya hingga tingkat Perda. Di kota Metro dituangkan dalam Perda Nomor 21/2016 untuk menjadi dasar kebijakan perlindungan terhadap sawah seluas 1.567,5 hektar. Permasalahan yang muncul dari implementasi kebijakan tersebut adalah karena lahan sawah yang ditetapkan LP2B merupakan lahan privat, sehingga tidak semua pemilik secara suka rela besedia menjalankan kebijakan ini. Penelitian ini bertujuan menganalisis prospek implementasi kebijakan PLP2B pada lahan privat berdasarkan tingkat kesediaan pemilik lahan menggunakan metode kuantitatif, yaitu menganalisis data lahan dengan pendekatan korelasi dan regresi liner berganda serta pemodelan spasial tingkat kesediaan pemilik lahan. Sampel sebanyak 513 persil diambil dari populasi sebanyak 6060 KK pemilik lahan pertanian di Kota Metro. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesediaan pemilik lahan untuk mendukung kebijakan PLP2B berbanding terbalik dengan adanya peluang keuntungan atas kegiatan nonpertanian pada lahan mereka. Pola spasial tingkat kesediaan pada umumnya mengikuti pola penggunaan lahan perkotaan sebagaimana kurva bidrent dalam teori penggunaan lahan perkotaan (William Alonso), namun terjadi anomali di beberapa lokasi pinggiran kota. Anomali tersebut adalah cerminan dilematis dari pemilik lahan dalam mendukung atau tidak mendukung kebijakan PLP2B. Berdasarkan dukungan pemilik lahan terdapat potensi 2.445 ha lahan sawah untuk ditetapkan sebagai LP2B, dengan demikian luasan tersebut dapat mencukupi dari taget sebesar 1.567,5 ha. Sebagian besar pemilik lahan menginginkan pembebasan PBB dengan nilai rata-rata Rp.48.600 setiap persil, dengan perkiraan nilai kompensasi untuk 5.000 persil mencapai Rp. 243.000.000 dalam setahun. Besaran Kompensasi yang diharapkan tidak memiliki korelasi yang kuat terhadap tingkat kesediaan. Peluang menutupi dilema dari pemilik lahan adalah pemerintah menetapkan besaran kebutuhan pengadaan kegiatan LP2B tersebut berdasarkan asas barang publik menggunakan perhitungan total economic value atas lahan pertanian mereka, sehingga tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan publik tersebut tidak hanya dibebankan kepada pemilik lahan. Untuk menutupi hilangnya potensi pajak dari lokasi LP2B tersebut pemerintah dapat menaikkan pajak pada lahan nonpertanian seperti perumahan, jasa dan industri.

The Sustainable Development Goals (SDGs) Agenda mandates that the conservation of agri-food land in urban areas must be conserved as it contributes to making cities and human settlements inclusive, safe, resilient, and sustainable as well as supporting food sovereignty. In Indonesia this is stated in the LP2B (Sustainable Food Agriculture Land Protection) policy as stipulated in Law No. 41/2009, which is then followed by the regulations below it up to the local level. In the city of Metro, it is stipulated in local law Number 21/2016 to become the basis for a policy of protecting 1,567.5 hectares of rice fields. The problem that arises from the implementation of this policy is because the rice fields designated by private lands, so not all owners are willing to voluntarily implement this policy. This study aims to analyze the prospects for implementing PLP2B policies on private land based on the willingness of land owners using quantitative methods, namely analyzing land data with a correlation approach and multiple linear regression as well as spatial modeling of the willingness of land owners. A sample of 513 parcels was taken from a population of 6060 households who owned agricultural land in Metro City. The results of this study indicate that the level of willingness of land owners to support the PLP2B policy is inversely proportional to the opportunity for profit from non-agricultural activities on their land. The spatial pattern of willingness levels generally follows the pattern of urban land use as the bid rent curve in urban land use theory (William Alonso), but anomalies occur in some suburban locations. This anomaly is a dilemma reflection of the land owner in supporting or not supporting the PLP2B policy. Based on the support of the land owner, there is the potential for 2,445 ha of rice fields to be designated as LP2B, thus the area can be sufficient from the target of ± 1,567.5 ha. Most of the land owners wanted land tax exemption at an average value of Rp. 48,600 per parcel, with an estimated compensation value of Rp. 243,000,000 in a year. The amount of compensation expected does not have a strong correlation with the level of willingness. The opportunity to cover the dilemma of the land owner is that the government determines the amount of needs for the procurement of LP2B activities based on the principle of public goods using the calculation of the total economic value of their agricultural land, so that the responsibility for meeting public needs is not only borne by the land owner. To cover the potential loss of taxes from the LP2B locations, the government can raise taxes on non-agricultural land such as housing, services and industry.

Kata Kunci : Pola Spasial Kesediaan, Pemilik Lahan, Implementasi Kebijakan, LP2B