Implementation of Forest Moratorium Policy: The Case of Deforestation and Forest Degradation in Papua Province, Indonesia

R ADITYA YUDHANEGARA, Prof. Dr. Ir. R. Rijanta, M.Sc.

2020 | Tesis | MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Pada tanggal 20 Mei 2011, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 10 tahun 2011 sebagai awal diberlakukannya kebijakan moratorium hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan laju deforestasi dan degradasi hutan melalui penundaan pemberian izin baru. Akan tetapi, efektivitas kebijakan ini dalam mencapai tujuan tersebut masih menjadi perdebatan. Studi ini menunjukkan bahwa kebijakan moratorium hutan berhasil mengurangi luasan areal perizinan, serta laju deforestasi dan degradasi hutan rata-rata di Provinsi Papua. Namun, studi kami juga mengungkapkan bahwa luas areal perizinan tidak berbanding lurus dengan laju deforestasi dan degradasi hutan di areal perizinan, dan penurunan laju rata-rata deforestasi dan degradasi hutan tidak diikuti dengan laju yang stabil setelah diberlakukannya kebijakan moratorium hutan. Lebih lanjut, studi ini mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan di tingkat provinsi terhambat oleh aspek transmisi dari faktor komunikasi, aspek staf dan informasi dari faktor sumber daya, serta aspek efek disposisi dari faktor disposisi. Kami merekomendasikan agar disamping membatasi areal perizinan, pemerintah juga harus meningkatkan sistem tata kelola perizinan dengan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi, serta mekanisme pengesahan rencana kerja usaha (RKU). Selain itu, pemerintah pusat harus meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengatasi faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan moratorium hutan.

On May 20, 2011, the government of the Republic of Indonesia enacted Presidential Instruction (Inpres) number 10 of 2011 as the start of the forest moratorium policy. This policy aimed to reduce the rate of deforestation and forest degradation through a moratorium on the issuance of new permits. However, the effectiveness of this policy in achieving these goals is still being debated. This study shows that the forest moratorium policy has successfully reduced the extent of the concession area, as well as the average deforestation and forest degradation rate in Papua Province. However, our results also reveal that the concession extent was not directly proportional to the rate of deforestation and forest degradation in the concession area, and the decline of the average rate of deforestation and forest degradation was not accompanied by a steady rate during the enactment of the policy. Furthermore, this study reveals that policy implementation at the provincial level was hampered by the transmission aspect of the communication factor, the staff and information aspect of the resources factor, and the effect of disposition aspect of the disposition factor. We recommend that, besides limiting the concession area, the government should improve the licensing governance by strengthening the monitoring and evaluation, as well as the mechanism of business-work-plan approval. Also, the central government should improve coordination with the local government to overcome factors hampering the implementation of the moratorium policy.

Kata Kunci : policy implementation, forest moratorium, deforestation, forest degradation, local government