Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel pada Industri Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri Ditinjau dari Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
CHENNIE FARADHINA ISKANDAR, Dr. Hariyanto, S.H., M.Kn
2020 | Skripsi | S1 HUKUMDugaan terjadinya perjanjian penetapan harga dan kartel yang menjerat 7 (tujuh) maskapai penerbangan bermula dari adanya kenaikan drastis harga tiket pesawat kelas ekonomi setelah masa peak season telah berakhir. Kondisi tersebut berlangsung cukup lama hingga berdampak pada penurunan jumlah penumpang sebanyak 17 (tujuh belas) juta orang sepanjang tahun 2019. Dalam publikasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyatakan bahwa kenaikan harga tiket pesawat turut menjadi penyebab kenaikan inflasi pada tahun 2019. Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan unsur dugaan terjadinya perjanjian penetapan harga dan kartel yang terjadi atas lonjakan harga tiket pesawat yang terjadi pada tahun 2019. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan normatif-empiris dengan menganalisis fenomena nyata yang pernah terjadi di masyarakat dan dunia persaingan usaha dengan meninjau data sekunder, yaitu berupa peraturan perundang-undangan serta literatur terkait yang relevan. Baik price fixing agreement maupun kartel memiliki beberapa hubungan yang membuat kedua pelanggaran tersebut sulit dibedakan, yaitu kedua pelanggaran tersebut melupakan bentuk kolusi. Price fixing agreement pun pada dasarnya juga merupakan bentuk kartel harga, berbeda dengan kartel dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang merupakan kartel produksi dan/atau pemasaran. Unsur-unsur dalam kedua pelanggaran tersebut pun memiliki kesamaan, di antaranya adalah unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur pelaku usaha pesaing, serta unsur barang dan/atau jasa. Dalam perkara ini, KPPU gagal membuktikan terjadinya kartel dikarenakan ada beberapa unsur kartel yang tidak terpenuhi. Unsur-unsur yang tidak terbukti tersebut diantaranya adalah unsur perjanjian, unsur bermaksud mempengaruhi harga, unsur mengatur produksi dan/atau pemasaran, serta unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
The allegation of price fixing agreement and cartel that ensnared 7 (seven) airlines stemmed from a drastic increase in economy class airfares after the peak season had ended. This condition had been running for a while and impacting the significant reduction of air passengers up to 17 (seventeen) million people throughout 2019. In its publication, the Central Bureau of Statistics (BPS) also stated that the rising airfares was also the cause of the increasing inflation rate in 2019. This legal research aims to analyze the fulfillment of the elements of price fixing agreement and cartel that occured due to the increasing airfares in 2019. This legal research uses normative-empirical approach by analyzing real phenomena that occurred in society and business competition by reviewing secondary data, consist of regulations and relevant literatures. Price fixing agreement and cartel have several similarities that make it difficult to differentiate the two violations, i.e the two violations are collusions. Price fixing agreement is basically a form of price cartel, it is different compared to cartel form as stipulated in Article 11 of Law No. 5 Year 1999 which is a form of production and/or marketing cartel. The elements of the two violations also have similarities, including the element of business actors, the element of agreements, the element of business competitors, and the element of goods and/or services. In this case, KPPU failed to prove the occurrence of cartel because of the unfulfillment of several cartel elements. The elements that are unfulfilled are the element of agreement, the element of intention of influencing prices, the element of controlling production and/or marketing, and the element of causing unfair business competition.
Kata Kunci : hukum persaingan usaha, perjanjian penetapan harga, kartel, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999