Relasi Bisnis dan Politik Paska Orde Baru: Kontestasi Pebisnis Tionghoa dan Arab di Ranah Lokal
INDARU SETYO NURPROJO, Prof. Pratikno : Dr. rer. Pol. Mada Sukmajati
2019 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIKDisertasi ini mengelaborasi tentang relasi bisnis dan politik dalam periode paska Orde Baru di ranah lokal. Riset ini menjelaskan bahwa modal identitas etnis dan kultural telah digunakan oleh para pebisnis untuk mempengaruhi dan mengakses kebijakan dan sumber daya ekonomi yang di miliki oleh negara. Berbeda dengan temuan-temuan riset tentang relasi bisnis dan politik sebelumnya, studi ini ingin beragumen bahwa relasi yang terbangun dalam rangka mempengaruhi dan mengakses kebijakan tata ruang dan sumber daya ekonomi pada ranah lokal paska Orde Baru tidak lagi hanya mendasarkan pada basis modal finansial saja, tetapi juga telah menggunakan basis modal berupa identitas etnis dan kultural. Dalam studi-studi tentang bisnis dan politik di Indonesia, terdapat empat pengelompokan peta pemikiran, yaitu; pertama, pemikiran struktural; kedua, pemikiran institusionalisme; ketiga, pemikiran patron-client, serta ke empat, pemikiran identitas etnis. Penelitian kualitatif ini akan mengisi ruang kosong dengan berusaha memberikan jawaban terhadap munculnya fenomena penggunaan modal berbasis identitas etnis dan kultural dalam relasi bisnis dan politik. Untuk mengurainya, studi ini akan menggunakan pemikiran patron-client untuk mengurai fenomena tersebut dengan menempatkan identitas etnis dan kultural sebagai salah satu unit analisis. Disertasi ini menyimpulkan bahwa dalam relasi bisnis dan politik di ranah local telah melahirkan; pertama, bahwa relasi bisnis dan politik di ranah local masih memunculkan karakter patron-client, dimana pebisnis masih berusaha mendapatkan dukungan dan proteksi dari jaringan kekuasaan pemerintahan, mereka juga berusaha mempunyai jaringan patronase dalam kelompok kekuasaan politik birokrasi dan mereka sangat tergantung kepada konsesi dan monopoli yang diberikan oleh pemerintah untuk mendapatkan kepentingannya. Namun, studi ini juga menemukan bahwa patronase yang muncul tidak hanya dilakukan oleh pebisnis dari kalangan etnis Tionghoa saja, namun juga telah memunculkan pebisnis dari kalangan etnis Arab. Sehingga, jaringan patronase yang terbentuk tidak lagi bersifat monolitik, namun telah bersifat kompetitif. Kedua, bahwa dalam membangun jaringan dan mempengaruhi kebijakan di tengah struktur politik paska Orde Baru yang lebih dinamis menjadikan para pebisnis tidak lagi hanya mengandalkan pada satu basis modal yaitu modal finansial saja, namun telah melebarkan basis modalnya dengan menggunakan modal identitas etnis dan kultural. Ketiga, adanya perubahan struktur social politik paska Orde Baru yang lebih dinamis telah menjadikan para pebisnis lebih focus membangun patronase dengan elit social politik, dibandingkan hanya merawat kekuatan jaringan dari kekuasaan elit politik birokrasi. Para pebisnis menyadari bahwa ketika mereka hanya merawat jaringan kekuasaan elit saja, maka tidak selalu bisa melanggengkan pengaruh pebisnis mereka, karena dalam prakteknya, jaringan dari para elit politik juga sangat tergantung dengan elit itu sendiri. Keempat, bahwa hadirnya basis modal identitas etnis dan kultural ternyata cukup efektif untuk menjadi kekuatan sentimen pengikat dalam membantu dan menopang proses bekerjanya modal finansial untuk kepentingan pebisnis etnis Tionghoa dan etnis Arab. Sentimen pengikat tersebut dalam pebisnis etnis Tionghoa di sebut kongsi, dan dalam pebisnis etnis Arab terwujud dalam bentuk jamaah. Kedua kekuatan tersebut telah menjadi kekuatan modal yang dapat mendukung bekerjanya modal finansial serta dapat membangun dan merawat kebertahanan jaringan patronase para pebisnis. Struktur social politik yang selalu dinamis paska Orde Baru, kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang selalu berubah, serta elit social politik yang selalu mengalami dinamika dan perubahan menjadikan para pebisnis menggunakan sentiment identitas etnis dan kultural untuk bisa bertahan dan berkompetisi mempengaruhi kebijakan tata ruang dan sumberdaya ekonomi. Dengan kata lain, jaringan patron client yang terbentuk di ranah local akan mendasarkan kepada basis modal finansial dan modal identitas etnis dan kultural. Basis modal dalam relasi patron client inilah yang kemudian beroperasi membangun relasi bisnis dan politik pada era paska Orde Baru.
This dissertation elaborates on business and political relations in the post-New Order period in the local region. This research explains that ethnic and cultural identity capital has been used by business people to influence and access policies and economic resources owned by the state. In contrast to previous research findings on business and political relations, this study would like to argue that the relationships built in order to influence and access spatial policies and economic resources in the post-New Order local region are no longer based solely on the basis of financial capital, but has also used a capital base in the form of ethnic and cultural identity. In studies on business and politics in Indonesia, there are four groupings of thought maps, namely; first, structural thinking; second, thinking of institutionalism; third, patron-client thinking, and fourth, ethnic identity thinking. This qualitative research will fill the empty space by trying to provide answers to the emergence of the phenomenon of using capital based on ethnic and cultural identities in business and political relations. To elaborate on this, this study will use patron-client thinking to disentangle this phenomenon by placing ethnic and cultural identities as one of the units of analysis. This dissertation concludes that business and political relations in the local region; first, that business and political relations in the local region still bring out a patron-client character, where business people are still trying to get support and protection from the government power network, they also try to have a patronage network in the bureaucratic political power group and they are very dependent on concessions and monopolies given by the government to get its interests. However, this study also found that the patronage that emerged was not only carried out by businessmen from ethnic Chinese circles, but also by businessmen from Arab ethnic groups. Thus, the patronage network formed is no longer monolithic, but competitive. Second, that in building networks and influencing policies in the midst of a more dynamic post-New Order political structure, business people no longer rely on only one capital base, namely financial capital, but have widened their capital base by using ethnic and cultural identity capital. Third, the change in the post-New Order's more dynamic socio-political structure has made business people more focused on building patronage with the socio-political elite, rather than maintaining the network strength of the bureaucratic political elite. Business people realize that when they only maintain elite power networks, it is not always possible to perpetuate the influence of their businessmen, because in practice, the networks of political elites are also very dependent on the elite itself. Fourth, that the presence of an ethnic and cultural identity capital base is in fact quite effective in becoming a binding sentiment force in assisting and sustaining the process of working financial capital for the interests of ethnic Chinese and Arab businessmen. This binding sentiment in ethnic Chinese businessmen is called kongsi, and in Arab ethnic business people are manifested in the form of congregation. These two strengths have become capital forces that can support the operation of financial capital and can build and maintain the sustainability of the patronage network of business people. The socio-political structure which was always dynamic after the New Order, the changing political economic forces, and the socio-political elite who always experienced dynamics and changes made business people use ethnic and cultural identity sentiments to survive and compete to influence spatial policies and economic resources. . In other words, the patron client network that is formed in the local region will be based on the basis of financial capital and ethnic and cultural identity capital. The capital base in this patron client relationship then operated to build business and political relations in the post-New Order era.
Kata Kunci : bisnis dan politik, relasi patron client, modal finansial dan identitas etnis-kultural