WISATA TSUNAMI SEBAGAI DARK TOURISM DI BANDA ACEH

ALMONIKA C F SARI, Dr. Sita Hidayah, M.A.

2020 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGI

Tahun 2004 gempa bumi dan tsunami melanda Banda Aceh. Pascatsunami, otoritas Aceh menetapkan bangkai Kapal PLTD Apung 1 dan boat nelayan yang terdampar di daratan sebagai situs tsunami, sekaligus membangun Museum Tsunami Aceh. Ketiga lokasi ini menjadi destinasi wisata yang setiap tahunnya dikunjungi ribuan wisatawan nusantara dan mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk, pertama mengetahui siapa aktor-aktor yang terlibat dalam pembangunan museum, situs dan monumen tsunami sebagai destinasi wisata;kedua, menggali apakah museum, situs dan monumen tsunami termasuk sebagai destinasi dark tourism; dan terakhir menjelaskan alasan-alasan keberadaan museum, monumen dan situs tsunami masih ada di tengah masyarakat Banda Aceh meskipun tsunami telah berlalu 15 tahun yang lalu. Penelitian ini dilakukan dengan studi literatur dan lapangan di Banda Aceh pada Oktober sampai dengan Desember 2019. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tsunami yang melanda Banda Aceh telah dimaterialkan oleh pihak otoritas (BRR Aceh-Nias dan Pemerintah Daerah Aceh) dalam bentuk museum, situs dan monumen. Bentuk ini menjadi hidup (living museum) melalui komodifikasi memori, kesedihan, dan kematian tentang tsunami yang terus dipertontonkan kepada wisatawan. Hal ini menjadikan museum, situs dan monumen tsunami sebagai destinasi wisata kelam (dark tourism). Wisata kelam merupakan representasi wisata yang menampilkan komodifikasi atas situs kematian, kebencanaan dan penderitaan.Konteks wisata kelam di Banda Aceh menjadi unik mengingat masyarakat Aceh mengemas pariwisata dengan memberikan pemaknaan nilai-nilai religius terhadap tsunami. Destinasi wisata ini dapat menciptakan citra positif bagi orang Aceh sebagai penyintas yang berhasil bangkit dan bertahan dari keterpurukan tsunami.

In 2004 an earthquake and tsunami hit Banda Aceh. After the tsunami, the Aceh authorities determined the stranded of the PLTD Apung 1 ship and a fishing boat as a tsunami site, as well as built the Aceh Tsunami Museum. These locations are tourist destinations for domestic and foreign tourists every year. This research is aimed to find out whom the actors were involved in the construction of tsunami museum, sites and monuments as tourist destinations; explore whether the museum, sites and tsunami monuments were included as dark tourism destinations; and explain the reasons for the existence of museum, monuments and tsunami sites that still exist in the community of Banda Aceh even though the tsunami passed 15 years ago. This research was conducted by literature and field study in Banda Aceh from October to December 2019. The results of this study indicate that the tsunami in Banda Aceh was materialized by the authorities (BRR Aceh-Nias and the Aceh Government) in the form of a museum, website and monument. This form has become a living museum through the commodification of memories, sadness, and death about the tsunami. This make museum, sites and tsunami monuments a dark tourism destination. Dark tourism is a tourism representation that displays the commodification of sites of death, disaster and suffering. The context of dark tourism in Banda Aceh is unique, considering that the Acehnese packaged tourism by providing interpretations of religious values to the tsunami. This tourist destination can create a positive image for the Acehnese as survivors who have managed to rise and survive the adversity of the tsunami.

Kata Kunci : dark tourism, tsunami, Banda Aceh