Bioskop dan Anak Muda Aceh: Studi tentang Gerakan Anak Muda Banda Aceh terhadap Ketiadaan Bioskop di Provinsi Aceh
CUT KHAIRINA RIZKY, Dr. Amalinda Savirani, S.IP., M.A., PhD
2020 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHANBerawal dari ketiadaan bioskop di Aceh yang sudah lama tidak hadir sejak masa konflik, pascatsunami, dan pemberlakuan Syariat Islam, membuat anak muda Aceh bergerak untuk melakukan gerakan. Anak muda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak muda yang tergabung dalam lima komunitas dan gerakan kolektif yang bergerak dalam bidang budaya dan perfilman, yakni Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan, Aceh Menonton, Kotak Hitam Aceh, Yayasan Aceh Documentary, dan Komunitas Trieng. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana respon dan gerakan yang dilakukan oleh anak muda Banda Aceh, yakni komunitas dan gerakan kolektif seni kebudayaan dan film terhadap ketiadaan bioskop. Studi ini menganalisis respon dan bentuk gerakan sosial yang dilakukan dengan melihat latar belakang, proses, dan hasil dari serangkaian upaya yang dilakukan oleh kelima komunitas dan gerakan kolektif tersebut. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan metode studi kasus yang melakukan pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Konsep gerakan sosial baru oleh Rajendra Singh digunakan sebagai pisau analisis yang hasilnya mengungkapkan bahwa gerakan sosial yang dilakukan berupa strategi kreatif untuk menghidupkan ekosistem perfilman di Aceh alih-alih sekedar mengupayakan hadirnya bioskop di Aceh. Gerakan sosial baru termanifestasi dalam bentuk kegiatan publik terbuka yang teraktualisasi dalam empat hal, yakni; bioskop alternatif, akses dalam menonton, pilihan film yang diputar, serta dampak perubahan untuk pihak yang menjadi sasarannya. Pada studi ini, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial baru yang dilakukan berupa strategi kreatif sebagai upaya dalam menghidupkan suasana perfilman di Aceh yang meredup serta mengaktualisasikan nilai akan pentingnya menghidupkan ekosistem perfilman di Aceh kepada pihak yang menjadi sasarannya, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Starting from the absence of cinemas in Aceh, which had not been present for a long time since the conflict, post-tsunami, and the enactment of Islamic Sharia, made Aceh youngs start to move. The young people referred to in this study are young people who are members of five communities and collective movements engaged in culture and film, namely Komunitas Tikar Pandan, Aceh Menonton, Kotak Hitam Aceh, Yayasan Aceh Documentary, and Komunitas Trieng. Thus, the formulation of the problem raised was how the response and movement carried out by Banda Aceh youngs, which are the community and the collective arts and culture movement towards the absence of cinema. This study analyzes the responses and forms of social movements carried out by looking at the background, process, and results of a series of efforts made by the five communities and collective movements. This research uses a qualitative study with a case study method that collects data through interviews and literature studies. The concept of a new social movement by Rajendra Singh was used as a tool for analysis, which the results revealed that the social movement carried out in the form of a creative strategy to revive the cinema ecosystem in Aceh rather than merely seeking the presence of cinema in Aceh. New social movements are manifested in the form of open public activities which are actualized in four ways; alternative cinema, access to watch, choice of films being screened, and the impact of changes for the target parties. In this study, it can be concluded that the new social movement carried out in the form of a creative strategy as an effort to revive the atmosphere of the film in Aceh which fades and actualize the value of the importance of reviving the film industry in Aceh to the target parties, namely the government, private sector, and the community.
Kata Kunci : Anak Muda, Bioskop, Gerakan Sosial Baru, Strategi Kreatif