Laporkan Masalah

Collaborative Governance dalam Pelayanan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan di Kabupaten Cilacap

TRI UJI FARCHATI, Theresia Octastefani,M.A.P.M.Pol.Sc

2020 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Pusat Pelayanan Terpadu Cilacap Tanpa Kekerasan (PPT CITRA) mengembangkan bentuk jejaring kerjasama baik dalam pencegahan, pelayanan, dan penanganan perempuan korban tindak kekerasan. Untuk mendalami secara komprehensif, penulis menitikberatkan pada praktik collaborative governance PPT CITRA karena Cilacap merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang masuk dalam zona merah kasus kekerasan terhadap perempuan. Sejauh ini keberadaan LSM yang fokus pada isu perempuan di Cilacap hanya KPI (Koalisi Perempuan Indonesia). Kepedulian akan perempuan korban kekerasan justru muncul dari LSM yang tidak fokus pada isu perempuan, seperti LSM GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkotika) dan LSM FPA (Forum Perlindungan Anak). LSM KPI, GRANAT dan FPA kemudian menginisiasi jejaring kolaborasi penanganan perempuan koban kekerasan pada pemerintah Kabupaten Cilacap melalui hadirnya PPT CITRA. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana praktik collaborative governance yang telah dilaksanakan, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses kolaborasi dalam PPT CITRA. Teori yang digunakan penulis yaitu teori collaborative governance Ansell dan Gash (2007) yang meliputi kriteria, tahapan proses dan faktor yang mempengaruhi proses kolaborasi. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggali data primer, melalui in-depth interview (wawancara mendalam), observasi, serta data sekunder berupa dokumen-dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama PPT CITRA merupakan bentuk collaborative governance yang sudah memenuhi lima tahapan kolaborasi Ansell dan Gash. Hal ini terlihat dari PPT CITRA yang telah mampu menghasilkan lima jenis pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Namun seiring berjalannya waktu, pelayanan PPT CITRA dinilai tidak lagi efektif dan tidak partisipatif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kondisi awal, kepemimpinan dan desain institusi. Dalam kolaborasinya, PPT CITRA belum memiliki mekanisme komunikasi yang baik, salah satunya disebabkan karena indikator monitoring dan evaluasi yang belum terpenuhi secara maksimal. Kolaborasi PPT CITRA menunjukkan adanya pola relasi pelayanan publik yang didominasi oleh ranah negara atau state centric governance. Terlihat dari adanya ketidakseimbangan kekuasaan dimana Dinas KBPPPA selaku koordinator dan fasilitator PPT CITRA tidak mau membagikan porsi distribusi tanggungjawab pada LSM sebagai sesama stakeholder. Hal ini terjadi sejak adanya pergantian Kepala Bidang PPT CITRA tahun 2012 yang memutuskan untuk melibatkan LSM KPI, GRANAT dan FPA hanya dalam hal-hal yang sifatnya insidental saja, bukan dalam kolaborasi yang sifatnya programatik. Keputusan ini diambil dengan alasan ingin memaksimalkan SDM dan fasilitas dari stakeholder lain yang merupakan bagian dari birokrasi sehingga Dinas KBPPPA merasa tidak lagi membutuhkan kontribusi LSM. Padahal, ketiga LSM tesebut merupakan aktor utama yang menginisiasi terbentuknya PPT CITRA. Keputusan untuk meminimalisir keterlibatan LSM dalam kolaborasi PPT CITRA oleh Dinas KBPPPPA tentu membuat konsep "terpadu" dalam PPT menjadi pudar. PPT idealnya diselenggarakan oleh pemerintah dengan melibatkan stakeholder dari berbagai elemen namun kini PPT CITRA justru menghilangkan LSM sebagai stakeholder non government. Sementara itu, minimnya pelibatan dan peran masyarakat dalam hal-hal inti pelayanan penanganan perempuan korban kekerasan juga menunjukkan bahwa masyarakat hanya ditempatkan sebagai customer (pelanggan) oleh PPT CITRA.

Centre for Cilacap Against Violence Treatment Service or Pusat Pelayanan Terpadu Cilacap Tanpa Kekerasan (PPT CITRA) has developed collaborative networking, both prevention and treatment, for violence against women victims. To present a more comprehensive paper, this writing emphasize on PPT CITRA's collaborative governance practices. Additionally, Cilacap is one of the regencies in Central Java which is included in the red zone for most violence against women cases. So far, CSOs that focus on violence against women issues in Cilacap are only KPI (Women's Coalition Indonesia). Awareness and concerns on violence against women issues had actually arisen from CSOs that did not focus on women's issues, such as LSM GRANAT (National Anti-Narcotics Movement) dan LSM FPA (Child Protection Forum). LSM KPI, GRANAT and FPA then initiated collaborative networking to help violence against women victims with Cilacap local government through PPT CITRA. The purpose of this study is to find out how collaborative governance practices are implemented and which factors influence collaborative processes within PPT CITRA. This study uses Ansell and Gash's collaborative governance theory (2007) which includes criteria, stage of processes, and factors which influence collaborative processes. To present a comprehensive research results, this study uses qualitative methods and descriptive research. To gather data, this study uses primary data through in-depth interview and observation, also secondary data through related documents. The results of this research show that PPT CITRA's networking is a form of collaborative governance that meet Ansell and Gash's five stages of collaboration concept. This is shown through PPT CITRA's five services for violence against women victims. Though as time goes by, PPT CITRA is perceived ineffective and not participatory. These perceptions are influenced by a few factors which include early conditions, leadership, and institutional design. Within the networks and collaboration, PPT CITRA has yet to maintain a good communication mechanism, one of which is caused by lack of optimal monitoring and evaluation. PPT CITRA's networks of collaboration show a pattern of relation in public services which is dominated by the state or state centric governance. This is shown by the power imbalance which Dinas KBPPPA, as a PPT CITRA facilitator and coordinator, never has an intention to distribute responsibilities and tasks to CSOs as stakeholders. This problem has been occurring since the transition of PPT CITRA Head Division in 2012, whom decided to only incidentally involve CSOs, and not in a programmatic sense of collaboration. This decision was made under the reasoning that KBPPPA wanted to maximize human resources and facilities from other stakeholders that are a part of bureaucracy. Thus, KBPPPA felt like they no longer needed CSOs though those CSOs were the ones who initiated PPT CITRA. The decision to minimize CSO's involvement in PPT CITRA's networking by KBPPPA then tarnishes the "integrated" concept within the "PPT". Ideally, PPT is run by the government which also involves stakeholders from variety of elements. To the contrary, PPT CITRA actually push aside CSOs as non-governmental stakeholders. Meanwhile, lack of public participation and roles in core services for violence against women victims then show that the public is only seen as a customer by PPT CITRA.

Kata Kunci : collaborative governance, pelayanan publik, perempuan korban kekerasan, PPT CITRA, Cilacap

  1. S1-2020-399435-abstract.pdf  
  2. S1-2020-399435-bibliography.pdf  
  3. S1-2020-399435-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2020-399435-title.pdf