PERSEPSI LINGKUNGAN PADA GUBAHAN RUANG KRATON YOGYAKARTA KARYA PANGERAN MANGKUBUMI: STUDI GEOMITOLOGI
ASROFAH AFNIDATUL KHUSNA, Drs. Jarwo Susetyo Edy Yuwono, M.Sc.
2020 | Skripsi | S1 ARKEOLOGIKota tradisional mensyaratkan integrasi antara bentuk kota, proses alam, dan persepsi orang akan lingkungan, di mana integrasi tersebut menentukan tindakan untuk menanggapi dan merancang kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena geologis dan geomorfologis yang melatarbelakangi kemunculan konsep garis imajiner dan sumbu filosofi sebagai panduan bagi Pangeran Mangkubumi dalam memilih lokasi dan merancang Kraton Yogyakarta. Data yang dikumpulkan terdiri atas data elemen fisik kota, kondisi lingkungan, dan geomitos lokal. Geomitos lokal memiliki fungsi yaitu: (a) memperpanjang data geologi masa lalu yang belum tercatat dalam data sejarah,(b) memetakan persepsi akan lingkungan terkait konsep ideologis berupa heterogenitas kualitas ruang pada masyarakat tradisional. Data kondisi lingkungan dan gemitos menghasilkan citra lingkungan yaitu persepsi masyarakat tradisional dalam memandang lingkungan Kraton Yogyakarta. Data elemen fisik kota menghasilkan citra kota yang didapat atas penjabaran elemen citra kota, yaitu: jalur, simpul, tetenger, tepian, dan kawasan. Dengan membandingkan struktur geomitos lokal, citra lingkungan, dan citra kota melalui hubungan sintagmatik-paradigmatik dihasilkan konsep kesetaraan yang menggambarkan proses transformasi tanda. Garis imajiner dan sumbu filosofi menunjukan konsep kosmografi berpola linier utara-selatan dengan aksis utara yang dominan. Asosiasi antara Gunung Merapi, dataran alluvial, dan Samudra Hindia membentuk zona akumulasi bencana volkanik, tektonik, dan tsunami yang menjadi dasar konsep kosmografi Kraton Yogyakarta. Tokoh Kyai Sapu Jagad dan Kanjeng Ratu Kidul dalam geomitos mengindikasikan fenomena periode puncak bencana pada abad ke-16 di Mataram yang terakumulasikan dalam memori kolektif masyarakat tradisional. Pada abad ke-18, Pangeran Mangkubumi mentransformasikan citra lingkungan (garis imajiner) dalam wujud tata kota (sumbu filosofi) sebagai pesan bagi pemukim untuk tetap waspada terhadap tanda alam. Fenomena ini menunjukan bahwa memori kolektif dapat ditransfer dalam berbagai wujud kebudayaan, baik dalam gagasan, aktivitas, ataupun artefak.
A Traditional city require integration between city form, natural process, and people's perception of the environment, this integration determines the actions to respond and to design the city. This research was conducted to find out the geological and geomorphological phenomena that lie behind the emergence of imaginary line and philosophical axis as a guide for Pangeran Mangkubumi in choosing location and designing Kraton Yogyakarta. Data of this reseach are consisted of physical elements of the city, environmental condition, and local geomyth. Local geomyth has a function i.e.: (a) extending past geological data that has not been recorded in historical data, (b) mapping environmental perception related to ideological concept in the form of heterogeneity of space quality in traditional society. Environmental condition data and geomythical data produced the image of the environment, which is the perception of traditional communities in viewing the environment of Kraton Yogyakarta. Data of physical elements of city produced the image of the city obtained from the elaboration of path, node, landmark, edge, and region. By comparing the structure of local geomyth, the image of the environment, and the image of the city through a syntagmatic-paradigmatic relationship resulting concept of equality which describes process of transforming the sign. Imaginary line and philosophical axis show the concept of cosmography with a north-south linear pattern with a dominant northern axis. The association between Mount Merapi, the alluvial plain, and the Indian Ocean forms an accumulation zone of volcanic, tectonic, and tsunami disaster that formed the basis of Kraton Yogyakarta's cosmographic concept. The figure of Kyai Sapu Jagad and Kanjeng Ratu Kidul in geomyth indicated the phenomenon of the peak of disaster period in the 16th century in Mataram, that accumulated in the collective memory of traditional communities. In the 18th century, Pangeran Mangkubumi transformed the image of the environment (imaginary line) in the form of urban planning (philosophical axis) as a message for citizen to stay alert to natural signs. This phenomenon shows that collective memory can be transferred in various forms of culture, both in ideas, activities, or artifacts.
Kata Kunci : garis imajiner, sumbu filosofi, Kraton Yogyakarta, transformasi tanda, geomitos, persepsi lingkungan