Bedhaya Ketawang 2017-2018: Pembahasan Penyajian dan Pergeseran Sakralitas
DITTA NOVITA A K, Dr. Wiwik Sushartami, M.A; Dr. Bambang Pudjasworo, SST, M.Hum
2019 | Tesis | MAGISTER PENGKAJIAN SENI PERTUNJUKAN DAN SENI RUPACitra sakral pada Bedhaya Ketawang telah lama melekat pada bentuk penyajiannya. Keutuhan tari menjadi hal yang penting untuk dipersembahkan kepada Raja atau Sinuhun dalam upacara kebesaran raja (hajad dalem). Penyajian Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan menjadi tiga babak, yakni babak Pakenira, babak Semang-semang, dan babak Bebaguse. Pada periode 2017-2018 terjadi fenomena penyajian Bedhaya Ketawang yang berbeda dari sebelumnya. Penyajian pada tahun 2017 hanya ditampilkan pada babak Pakenira, sedangkan pada tahun 2018 Bedhaya Ketawang ditampilkan babak Bebaguse. Dalam menelaah fenomena ini diperlukan pencermatan mengenai pembahasan penyajian baik dalam keutuhan dan pemotongan. Hal itu menjadi fokus awal untuk mencermati perbedaan apa saja yang terjadi. Disamping itu, penelitian ini untuk mengkaji, membedah, dan mengetahui sebab-sebab terjadinya pemotongan penyajian dan pengaruhnya terhadap sakralitas dalam konteks ruang dan waktu. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan etnokoreologi turut pula dimplementasikan untuk membedah persoalan penelitian. Etnokorelogi suatu pendekatan yang mewacanakan berbagai lintas disiplin keilmuan. Disiplin yang digunakan dalam tesis ini, pertama ialah teori koreografi milik Russell Meriwether Hughes. Dalam mengkaji persoalan teks dan konteks yang lebih luas digunakan teori milik Marcia Eliade yang menitik beratkan pada aspek ruang-waktu. Kedua teori itu dijembatani dengan meminjam konsep-konsep tari Jawa, seperti konsep Hasta Sawanda dan tiga konsep estetis bedhaya yang dielaborasikan dan melebur menjadi satu kesatuan dalam pembahasan penyajian dan sakralitas. Pemotongan penyajian Bedhaya Ketawang di periode 2017-2018 berdampak pada perubahan struktur gerak dan gendhing dari bentuk penyajian semula. Keterkaitan perubahan penyajian dalam aspek ruang dan waktu membawa muatan filosofi tari Jawa yang terkandung dalam Bedhaya Ketawang tidak dapat disampaikan dalam bentuk penyajian yang sempurna. Fenomena yang terjadi pada perubahan penyajian melahirkan konklusi pada pergeseran sakralitas.
Sacred image in the Bedhaya Ketawang has long been attached to its performance form. The wholeness of the dance presented becomes an important thing to be served to the King orSinuhun in the king's grandeur ceremony (hajad dalem). Bedhaya Ketawang performance can be classified to three stages namely Pakenira stage, Semang-semang stage, and Bebaguse stage. Those three stages form a unity that cannot be separated its relevancy to the sacrality aspect, either in the time or space dimension. In the period of 2017-2018 there was different phenomenon of Bedhaya Ketawang performance from previously. The performance in 2017 only showed the Pakenira stage meanwhile in 2018 it showed Bebaguse stage. In studying this phenomenon it is needed accuration about performance discussion in the wholeness and separation. Besides, this research aims to examine, analyze, and find out the causes of performance deduction and its effect to the sacrality of space and time context. This research was examined by using qualitative method.Ethnochoreological approach was also implemented to analyze the research problem. Ethnochoreological is an approach that talks about interdisciplinary studies. The discipline used in this thesis, first is the choreography theory from Russell Meriwether Hughes. In analyzing the broader text and context problem this research used theory from Marcia Eliade which points out about the spacetime aspect. These two theories is bridged by borrowing Javaneses dance concepts, such as Hasta Sawanda and three bedhaya aesthetic concepts which elaborated and merged become a unity in the discussion of performance and sacrality. Performance cutting of Bedhaya Ketawang in the period of 2017-2018 brought short duration. It had impact to the change of movement structure and gendhing from the original performance form. The relevance of performance alteration in the time and space aspect brought philosophical content of Javanese dance that was contained in Bedhaya Ketawang could not be delivered in the perfect performance. The phenomenon of performance alteration created conclusion in the sacrality shifting. Keywords: Bedhaya Ketawang, Bedhaya Performance, dan Sacrality Shifting
Kata Kunci : Bedhaya Ketawang, Penyajian Bedhaya, dan Pergeseran Sakralitas