Laporkan Masalah

EVALUASI PENGARUH PENGGUNAAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN TERHADAP DELIMITASI BATAS MARITIM DAN PENERAPANNYA DI SELAT MALAKA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA

Nadya Haniffa Masnur, I Made Andi Arsana, S.T., M.E.,Ph.D.

2019 | Skripsi | S1 TEKNIK GEODESI

Tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka menimbulkan sengketa dan perselisihan karena belum adanya batas yang membagi kawasan tumpang tindih tersebut. Maka dari itu, perlu dilakukan delimitasi batas maritim yang mengacu pada aturan hukum internasional yang berlaku, yaitu UNCLOS 1982. Menurut UNCLOS 1982, delimitasi batas maritim dilakukan dengan menggambarkan suatu garis di antara garis pangkal yang relevan dari negara yang terdapat tumpang tindih klaim zona maritim. Negara kepulauan, yang terdiri dari banyak gugusan pulau, dapat menggunakan garis pangkal kepulauan untuk melakukan klaim zona maritim. UNCLOS 1982 tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pengaruh penggunaan garis pangkal kepulauan terhadap delimitasi batas maritim. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan garis pangkal kepulauan terhadap delimitasi batas maritim. Beberapa negara dilakukan kajian pada beberapa batas maritim yang telah disepakati antara negara kepulauan dengan negara non-kepulauan. Negara-negara tersebut adalah Bahamas -Cuba, Cape Verde - Senegal, Papua Nugini - Australia, dan Sao Tome and Principe - Gabon. Parameter yang dijadikan acuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan garis pangkal kepulauan terhadap delimitasi batas maritim adalah luas area yang dibentuk karena adanya perbedaan posisi antara garis batas hasil konstruksi delimitasi dan garis batas yang telah disepakati. Berdasarkan hasil penelitian dengan parameter tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa garis pangkal kepulauan mempengaruhi proses delimitasi batas maritim. Hal ini dikarenakan luas area yang dibentuk oleh garis batas hasil konstruksi delimitasi yang melibatkan penggunaan garis pangkal kepulauan dan garis batas yang telah disepakati cenderung lebih kecil dibandingkan dengan luas area yang dibentuk oleh garis batas hasil konstruksi delimitasi yang tidak melibatkan garis pangkal kepulauan dan batas yang telah disepakati. Garis batas hasil konstruksi delimitasi yang melibatkan penggunaan garis pangkal kepulauan mendekati bentuk dari garis batas yang telah disepakati. Hasil dari penelitian ini adalah diperolehnya kesimpulan bahwa delimitasi batas maritim antara negara kepulauan dan non-kepulauan dipengaruhi oleh penggunaan garis pangkal kepulauan. Kemudian, garis klaim ZEE sepihak Indonesia di Selat Malaka telah ditentukan sesuai dengan pola yang dihasilkan dari kajian ini, yaitu dengan melibatkan garis pangkal kepulauan dalam delimitasi batas maritim.

Overlapping claims between Indonesia and Malaysia in the Malacca Straits causes maritime dispute and tension because there is no boundary which makes the overlapping area partition. Therefore, the maritime boundary needs to be delimitated which is refers to the applied international law, i.e. UNCLOS 1982. According to UNCLOS 1982, maritime boundary delimitation is carried out with drawing a line between relevant baseline from countries which have the overlapping maritime claims. Archipelagic state, which consists from groups of islands, could use its archipelagic baseline to claim its maritime zone. UNCLOS 1982 does not mention the impact of the use of archipelagic baseline in maritime boundary delimitation specifically. This research is carried out to know the impact of the use of archipelagic baseline in maritime boundary delimitation in several archipelagic states and non-archipelagic states. These countries are Bahamas - Cuba, Cape Verde - Senegal, Papua New Guinea - Australia, and Sao Tome and Principe - Gabon. Parameter used as a reference to determine the effect of the use of archipelagic baseline on maritime boundary delimitation is the area formed as the consequence of the difference of position between maritime boundary line as a result of hypothetical delimitation process and the agreed maritime boundary. Based on this parameter, it can be concluded that the archipelagic baseline affects the process of maritime boundary delimitation because the area that is formed by delimitation line which involves the use of archipelagic baseline with the agreed maritime boundary, tends to have a smaller area than the area that is formed by delimitation line which does not involve the archipelagic baseline with the agreed maritime boundary. The boundary line as a result of delimitation which involves archipelagic baseline is similar with the agreed boundary. The result from this research is the conclusion that, in the maritime boundary delimitation between archipelagic state and non-archipelagic state, is involved by the use of archipelagic baseline. Subsequently, Indonesia's unilateral maritime boundary claims in the Malacca Straits is delimitated with the same result of this research, i.e. involving the archipelagic baseline in maritime boundary delimitation.

Kata Kunci : UNCLOS 1982, negara kepulauan, sengketa, delimitasi batas maritim, tumpang tindih / UNCLOS 1982, archipelagic states, dispute, maritime boundary delimitation, overlapping area.

  1. S1-2019-378895-abstract.pdf  
  2. S1-2019-378895-bibliography.pdf  
  3. S1-2019-378895-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2019-378895-title.pdf