Arsitektur Omah Dudur Di Wilayah Urut Sewu, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

SATRIO HASTO BROTO WIBOWO, Prof., Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D dan Dr. Ingl., Ir. E. Pradipto

2019 | Disertasi | DOKTOR ARSITEKTUR

Omah dudur adalah hunian khas masyarakat Jawa perdesaan di wilayah Urut Sewu, kecamatan Grabag, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa omah dudur berstatus sebagai omah ratu di perdesaan Urut Sewu dan dihuni oleh masyarakat perdesaan tanpa dibatasi oleh stratifikasi sosial. Masyarakat percaya bahwa omah dudur adalah omah ratu yang dimiliki dan digunakan oleh ratu Mataram Yogyakartaa dan ratu spiritual Segara Kidul sebagai hunian di kerajaannya. Keberadaan omah dudur di Urut Sewu pada mulanya bernama joglo dan dibawa oleh Demang Onggomoyo dari kerajaan Mataram, dan diganti namanya menjadi dudur serta dikembangkan menjadi berbagai ragam bentuk omah dudur yaitu: 1) omah dudur siji; 2) omah dudur siji-limasan; 3) omah dudur gandeng loro; 4) omah dudur gandeng loro seselan; 5) omah dudur gandeng telu-limasan; dan 6) omah dudur komplit. Dibalik ragam bentuk arsitektur omah dudur terdapat fenomena adanya nilai-nilai transenden yang merupakan pengetahuan lokal masyarakat yang masih tersembunyi sehingga belum terungkap sebagai ilmu pengetahuan arsitektur. Untuk mengungkapnya diperlukan penelitian dengan menggunakan paradigma dan metode fenomenologi Husserl, 1965, dan didukung Interpretative Phenomenological Analysis (Smith, 2009), serta metode induktif kualitatif fenomenologi (Sudaryono, 2003) yang dinilai mampu menembus dan membuka selubung tacit knowledge omah dudur. Penerapan terhadap paradigma dan metode dalam penelitian arsitektur omah dudur, berhasil menemukan tiga konsep yaitu: 1) spiritualisasi omah dudur; 2) mengarep, pangkon, dan jejer sebagai inti pola rumpun omah dudur; serta 3) konsep sosio spiritual sebagai wadah meso omah dudur. Dari ketiga konsep omah dudur tersebut, selanjutnya dianalisis menghasilkan teori lokal (idiografik), yaitu: Manunggaling Wahyu, Ratu, Kawula sebagai spirit omah dudur. Teori tersebut menjelaskan mengenai kesatuan Wahyu (mahluk spiritual berwujud Sunan Walisanga dan Teluh Braja), Ratu (ratu Mataram dan Segara Kidul) dan Kawula (masyarakat desa) yang salaing berinteraksi dan menjiwai omah dudur. Di dalam omah dudur Wahyu manggon (menetap) dan hidup di dalam omah dudur, yaitu di elemen rangka omah dudur sehingga menjadikan omah dudur bernyawa, hidup dan menjadi pusaka. Ratu manggon di hati kawula dan disimbolkan dalam wujud dan elemen rangka omah dudur, sedangkan kawula sebagai penghuni omah dudur juga disimbolkan dalam elemen rangka omah dudur. Keberadaan Wahyu dan Ratu di omah dudur adalah wujud kesadaran masyarakat untuk menjadi sarana dalam memperoleh kemudahan menjalani kehidupan di dunia, menjadi manungsa utama (manusia utama) serta mendapatkan jalan menuju swarga (sorga). Untuk menuju swarga, Wahyu memberikan prinsip mengarep (berjalan maju), pangkon (berpangkuan) dan jejer (berjajar) yaitu bersama-sama dan saling mendukung berjalan maju ke arah Selatan menuju kerajaan Segara Kidul sebagai swarga bagi masyarakat Urut Sewu. Omah dudur sebagai sarana untuk mendapatkan kemudahan hidup, membentuk manungsa utama dan swarga akan tetap eksis apabila ruang desa sebagai wadah meso omah dudur tetap memiliki nilai sosio-spiritual, sebaliknya omah dudur akan melemah apabila nilai sosio-spiritual ruang desa melemah.

Omah dudur is a typical Javanese rural residence in the Urut Sewu area, Grabag sub-district, Purworejo district, Central Java. Phenomenon in the field shows that omah dudur is the status of the queen of the house in the village of Urut Sewu and inhabited by rural communities without being restricted by social stratification. The community believes that omah dudur is the house of the queen who is owned and used by the queen of Mataram Yogyakarta and the spiritual queen Segara Kidul as a residence in his kingdom. The existence of omah dudur in Urut Sewu was originally called joglo and was carried by Demang Onggomoyo from the Mataram kingdom, and was renamed dudur and developed into various forms of omah dudur namely: 1) omah dudur siji; 2) omah dudur siji-limasan; 3) omah dudur gandeng loro; 4) omah dudur gandeng loro seselan; 5) omah dudur gandeng telu-limasan; dan 6) omah dudur komplit. Behind the various architectural forms of omah dudur there is a phenomenon of spiritual values which are local knowledge of society that is still hidden so that it has not been revealed as architectural science. To reveal it needs research by using the paradigm and phenomenology method of Husserl (1965), and supported by Interpretative Phenomenological Analysis (Smith, 2009), as well as qualitative inductive phenomenological methods (Sudaryono, 2003) which are considered capable of penetrating and unmasking tacit knowledge omah dudur. The application of the paradigm and phenomenology method in omah dudur architectural research, succeeded in finding three concepts, namely: 1) spiritualization of omah dudur; 2) mengarep, pangkon, and jejer as the core pattern of clumps of omah dudur; and 3) the concept of socio-spiritual as a container of meso omah dudur. The three concepts of omah dudur, then analyzed produce local theory (idiographic), namely: "Manunggaling Wahyu, Ratu, Kawula as spirit of omah dudur". The theory explains the unity of Wahyu (spiritual beings in the form of Sunan Walisanga and Teluh Braja), Ratu (queen of Mataram and Segara Kidul) and Kawula (village community) who interact and inspire omah dudur. In the omah dudur Wahyu manggon (settled) and live in omah dudur, which is in the framework element omah dudur so that it makes omah dudur animate, lives and becomes a heirloom. Ratu manggon in the heart of kawula and symbolized in the form and elements of the framework of omah dudur, while the kawula as occupants of the omah dudur are also symbolized in the elements of the omah dudur. The existence of Wahyu and Ratu in omah dudur is a manifestation of public awareness that aims to make the community obtain the ease of living in the world, becoming the manungsa utama (main human being) and getting the road to swarga (heaven). To go to Swarga, Wahyu gave the principle of mengarep (walking forward), pangkon (lapging) and jejer (lined up) together and supporting each other going forward to the South towards the Segara Kidul kingdom as swarga for Urut Sewu community. Omah dudur as a means to get the ease of life, form the manungsa utama and swarga will still exist if the village space as a place for meso omah dudur still has socio-spiritual values, on the contrary omah dudur will weaken if the socio-spiritual values of village space weaken.

Kata Kunci : omah dudur, konsep omah dudur, teori omah dudur/omah dudur, the concept of omah dudur, the theory of omah dudur.