Laporkan Masalah

TINGKAT KEMANDIRIAN KOTA WISATA CIBUBUR SEBAGAI SALAH SATU KOTA BARU DI WILAYAH PENYANGGA JAKARTA

Rifdah Tsabitah, Retni Widodo Dwi Pramono, S.T., M.Sc., Ph.D.

2019 | Skripsi | S1 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Fenomena urbanisasi yang tidak terkontrol dapat mengancam daya dukung dan daya tampung sebuah kota. Salah satu akibat dari urbanisasi yang tidak terkontrol adalah semakin tingginya beban Kota Jakarta sebagai kota induk. Sujarto (1993) menjelaskan terdapat tiga alternatif solusi untuk meringankan beban kota induk antara lain intensifikasi kota, ekstensifikasi kota dan pengembangan kota baru. Pengembangan kota baru dianggap yang paling tepat untuk meringankan beban kota induk karena prinsip dan tujuan utamanya yaitu kemandirian. Namun demikian, Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pengembangan kota baru yang telah dilakukan di sekitar Jabodetabek belum berhasil memunculkan kemandirian sehingga mengakibatkan ketergantungan kepada Kota Jakarta. Pola kegagalan pengembangan kota baru seperti ini terus berlanjut, oleh karena itu perlu dikaji lebih dalam bagaimana kontribusi kemandirian pengembangan kota baru dalam pemecahan masalah beban kota induk. Salah satu pengembangan kota baru yang diambil sebagai contoh dalam penelitian adalah Kota Wisata Cibubur. Sebagai pengembangan kota baru kedua oleh Sinarmas Land di wilayah penyangga Jakarta, tingkat kemandiriannya perlu dinilai karena tujuan akhir pengembangan Kota Wisata Cibubur adalah untuk menjadi kota yang hidup dan mandiri (Kota Wisata Cibubur, 2017). Sehingga penelitian ini akan melihat masih terjadi atau tidaknya kegagalan untuk memunculkan kemandirian pada pengembangan kota baru oleh developer dan dampaknya dalam rangka mengurangi beban kota induk. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif - kualitatif untuk menilai dan menjelaskan dampak dari tingkat kemandirian Kota Wisata Cibubur. Analisis dijelaskan secara deskriptif dan dilakukan dengan berbagai metode antara lain checklist analysis, benchmarking analysis, analisis spasial dengan overlay, analisis derajat kejenuhan serta coding. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa Kota Wisata Cibubur termasuk kategori pengembangan Kota Baru Penunjang. Dengan kategori tersebut, Kota Wisata Cibubur sudah mandiri secara sosial (pelayanan domestik) sebesar 85% dan masih baru berpotensi mandiri secara ekonomi sebesar 54%. Ketidakmandirian Kota Wisata Cibubur secara ekonomi berdampak langsung pada pola pergerakan penduduknya terutama terhadap munculnya penduduk komuter dan transport cost. Penyebab dari ketidakmandirian secara ekonomi dipicu oleh tidak adanya fungsi primer untuk melayani penduduk hinterland karena peruntukan ekonominya yang masih sedikit dan berskala neighbourhood. Selain itu, ketidakmandirian secara ekonomi mengindikasikan dua hal yaitu Kota Wisata Cibubur lebih tepat disebut sebagai large housing development dan atau Kota Wisata Cibubur masih dalam proses pengembangan.

The phenomenon of an uncontrolled urbanization can be a threat to the city's carrying capacity. One of the results from an uncontrolled urbanization is the increase of Jakarta's burden as a prime city. Sujarto (1993) explained that there were three alternative solutions to lessen the burden of the prime city, such as city intensification, city extensification and development of new cities. The development of new cities is considered as the most appropriate solution to lessen the burden of the prime city because of its principle and main purpose, which is independence. However, the previous research shows that the development of new cities that have been carried out around Jabodetabek has not succeeded in generating independence that has resulted in the dependence on Jakarta as the prime city. The pattern of failure for a new city development like this still continues, that is why this need a more in-depth study on how a new city development contributing to lessen the burden of a prime city. One of the new city developments taken as an example in the study is Kota Wisata Cibubur. As the second new city development by Sinarmas Land in the Jakarta Greater Area, it's level of independence needs to be assessed because the final goal of Kota Wisata Cibubur is to become an alive and selfcontained city (Kota Wisata Cibubur, 2017). In short, this study will see whether developer still fails to bring out independence in the development of new cities and the impact made in reducing the burden of the prime city. This study used a deductive - qualitative approach to assess and explain the impact of the Kota Wisata Cibubur's independence level. The analysis is explained descriptively and carried out with various methods including checklist analysis, benchmarking analysis, spatial analysis with overlay, analysis of the saturation degree and coding. The result is Kota Wisata Cibubur belongs to the new Supporting City Development category. According to that category, Kota Wisata Cibubur is socially independent by 85% and economically independent by 54% which means it is not fully independent but has potential to be independent economically. The economic dependence of Kota Wisata Cibubur has direct impact on the pattern of the population movements, especially in the emergence of the commuter populations and transport cost. The cause of the economic dependence was triggered by the absence of the primary function to serve the hinterland's population, it is because the land allocation for economic activity is still small and in a neighbourhood scale. Furthermore, the economic dependence indicates two things, first Kota Wisata Cibubur is more appropriate referred as a large housing development and second it is still in the process of being developed to be fully independent.

Kata Kunci : Kemandirian, Ketergantungan, Kota Induk, Kota Wisata Cibubur, Large Housing Development, Pengembangan Kota Baru

  1. S1-2019-381339-abstract.pdf  
  2. S1-2019-381339-bibliography.pdf  
  3. S1-2019-381339-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2019-381339-title.pdf