Laporkan Masalah

Indonesia Era Reformasi dalam Sastra Perjalanan Barat: Studi Postkolonial

RAHAYU PUJI HARYANTI, Prof. Dr. Ida Rochani Adi, S.U.; Prof. Dr. Faruk H.T., S.U.

2018 | Disertasi | S3 Ilmu-ilmu Humaniora

Dengan produksi yang terus berkembang dan peranannya dalam sejarah kolonial yang dampaknya masih diperbincangkan saat ini, sastra perjalanan menjadi bagian yang sangat penting dalam kajian sastra, terutama yang terkait dengan postkolonialisme. Indonesia sebagai negara dan bangsa yang memiliki latar belakang sejarah kolonial merupakan salah satu wilayah yang sering dibicarakan dalam buku-buku perjalanan. Era reformasi yang ditandai dengan pencarian kembali identitas Indonesia merupakan momen yang tepat untuk melihat kembali posisi Indonesia di mata internasional dan perkembangan wacana kolonial dalam sastra perjalanan, yang dipandang oleh kritikus postkolonial sebagai fenomena yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk a) mengidentifikasi intensitas wacana kolonial dalam bangunan naratif dan geopolitik dalam satra perjalanan yang diteliti, b) menjelaskan strategi konstruksi wacana kolonial dalam representasi Indonesia, dan c) menjelaskan faktor-faktor sosial dan budaya global yang mendorong kemunculan wacana kolonial tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah postkolonialisme dengan piranti analisis berupa teori-teori postkolonial yang terkait, yakni pandangan Edward Said mengenai keberlanjutan wacana kolonial, pandangan Bhabha mengenai ambivalensi dan keterbelahan identitas Barat, gagasan Spivak mengenai subalternisme, serta gagasan Sarah Upstone mengenai politik ruang dalam postkolonialisme. Sebagai objek material, dipilih tulisan perjalanan masa kini yang menampilkan perjalanan para pelancong Barat pada era reformasi di Indonesia. Dengan korpus tersebut, tiga tulisan perjalanan dipilih sebagai objek kajian yakni Jakarta Jive karya Jeremy Allan (2001), Journeys in Java karya Marie Gray (2003), dan In the Time of Madness karya Richard Lloyd Parry (2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sastra perjalanan Barat tersebut menampilkan wacana kolonial yang masih tinggi melalui strategi naratif yang menunjukkan keterikatan pada Rumah sebagai standar dalam memandang dan memahami Indonesia, serta geopolitik yang menampilkan Indonesia sebagai wilayah bekas koloni Eropa dengan karakterisik yang baku. Wacana kolonial dalam ketiga kisah tersebut dibangun terutama dengan penciptaan Indonesia sebagai liyan melalui strategi eksotisasi, stereotipisasi, dan penggunaan deret sejarah dengan beberapa pergeseran dalam rangka penyesuaian diri dengan era baru. Kemunculan wacana kolonial tersebut menghasilkan identitas Barat yang terkukuhkan sebagai bangsa dengan ras dan karakter lain yang lebih unggul dibanding bangsa lain. Namun identitas tersebut tidak bersifat total dan stabil melainkan ambivalen dan rapuh. Di antara pendorong ambivalensi dan keterbelahan identitas tersebut adalah adanya situasi dan kondisi nasional dan global di sekitar perjalanan tersebut serta tantangan atau ancaman yang menyertainya.

With its ever-expanding production and role in colonial history that has been impacted still today, travel literature has become a very important part of literary studies, especially with regard to postcolonialism. Indonesia as a country and a nation with a colonial background is one of the territories often wrapped up in travel books. The reform era marked by the visualization of Indonesian identity is a good moment to look back at Indonesia's international position and the development of colonial discourse in travel literature, seen by postcolonial critics as a sustainable phenomenon. This study aims at a) identifying the position of colonial discourse in the narrative and geopolitical constructions in Western travel literature to Indonesia, especially the three major travel accounts in the study, b) explaining the strategies used in constructing the colonial discourse, and c) identifying the global circumstances associated with the occurrence of the discourse. This study used postcolonial approach involving relevant postcolonial theories such as colonial discourse suggested by Edward Said, ambivalence and Western Split Identity by Homi Bhabha, subaltern by Gayatri Spivak, and postcolonial spatial politics by Sarah Upstone as analytical tools. As the material objects of the study, current travel writings featuring the insights of the reform era in Indonesia were used. With these corpuses, three travel books were selected; they were Jakarta Jive by Jeremy Allan (2001), Journeys in Java by Marie Gray (2003), and In Time Madness by Richard Lloyd Parry (2005). The result shows that the three travel books by western travelers present quite considerable colonial discourse reflected in the narrative construction indicating attachment to western values in giving judgement to the ‘other’ and in the geopolitics construction through depicting Indonesia as an ex European colony with prescribed boundaries. The colonial discourse in the three travelogues was built in the process of othering Indonesia through the strategy of exotization, stereotypization, and the use of historical queue concept with some adjustment to the new era. The emergence of the colonial discourse produces a confirmed Western identity as a nation with races and other characters superior to other nations. But the identity is not stable as it is ambivalent and fragile. This was triggered among others by the national and global circumstances as well as the challenges and threats accompanying the

Kata Kunci : Sastra perjalanan, Indonesia, postkolonial, wacana kolonial, identitas

  1. S3-2018-337300-abstract.pdf  
  2. S3-2018-337300-bibliography.pdf  
  3. S3-2018-337300-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2018-337300-title.pdf