PENGEMBANGAN MODEL MUSEUM-MAL MELALUI PENDEKATAN ARKEOLOGI PUBLIK: Studi Kasus di Ambarrukmo Plaza, Yogyakarta
JANATI PRARIYADIYANI, Dra. D.S. Nugrahani, M.A.
2017 | Skripsi | S1 ARKEOLOGIMuseum sebagai salah satu media interaksi antara arkeologi dengan masyarakat selama ini kurang diminati. Masyarakat lebih suka berkunjung ke tempat-tempat perbelanjaan yang semakin banyak dibangun di Yogyakarta, dibandingkan berkunjung ke sebuah museum. Ketimpangan tersebut tentunya membutuhkan pendekatan yang memfokuskan perhatiannya pada peningkatan kesadaran dan pendidikan arkeologi kepada masyarakat, yaitu Arkeologi Publik. Pengembangan museum-mal pada penelitian ini merupakan salah satu bentuk aplikasi Arkeologi Publik dengan menjadikan museum sebagai bagian dari mal agar minat masyarakat untuk mengunjungi museum semakin meningkat. Tujuan umum dari penelitian ini adalah merancang model museum-mal di Ambarrukmo Plaza, Yogyakarta, yang berorientasi pada dua kepentingan sekaligus. Kepentingan pertama adalah pemasyarakatan museum dengan memanfaatkan popularitas Ambarrukmo Plaza; sedangkan kepentingan kedua adalah peningkatan branding Ambarrukmo Plaza sebagai pusat perbelanjaan yang memiliki nilai sejarah-budaya tersendiri. Kedua kepentingan ini dicapai melalui analisis selera publik dan analisis penempatan museum. Adapun data yang dianalisis dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Pemilihan Ambarrukmo Plaza untuk pengembangan model museum-mal mempertimbangkan tujuh faktor eksternal yang terdiri atas: (1) lokasi, (2) kontribusi pengunjung, (3) pemilihan tempat, (4) akses/kedekatan dengan pusat keramaian lainnya, (5) daya tarik, (6) sifat kunjungan, dan (7) hubungan tematik antara museum dengan lokasi. Hubungan tematik antara museum dengan lokasi sebagai salah satu aspek yang dirasa paling kuat adalah nilai sejarah yang dikandungnya sebagai bekas pesanggrahan Keraton Ngayogyakarta masa HB VI dan VII. Adapun pemilihan area museum di sisi atrium Ambarrukmo Plaza mempertimbangkan enam aspek internal sebagai berikut: (1) penciptaan icon baru Ambarrukmo Plaza, (2) pemanfaatan media sosial dan teknologi informasi dengan memilih lokasi yang paling strategis dan paling mudah diakses publik, (3) tata pameran bersifat dinamis dengan penyajian tema-tema khusus, (4) museum sebagai bentuk kompensasi atas �pengrusakan� terhadap Pesanggrahan Ambarrukmo, (5) penciptaan pilot project bagi pengembangan dan pemberdayaan arkeologi publik, (6) perpaduan antara pendidikan sejarah dan kebudayaan dengan aspek ekonomi.
Museum is considered as less desirable media on interaction between archaeology and public. People tend to visit shopping centers which were built increasingly in Yogyakarta, rather than visiting a museum. This such inequality requires an approach that focuses its attention on raising awareness and education of archaeology to public, namely Public Archaeology. The developing of museum-mall in this research is one of public archaeological application by making the museum as a part of mall to increase the public interests in order to visiting museum. The general purpose of this research is to design mall-museum model in Ambarrukmo Plaza, Yogyakarta, which is oriented to two interests on a reciprocal basis. The first interest, is bringing museum closer to the public by utilizing the popularity of Ambarrukmo Plaza, while the second interest is increasing the branding of Ambarrukmo Plaza as a shopping center that has its own historical-cultural values. These two interests are achieved through analysis of public taste and analysis of museum placement. The data analyzed were collected through observation and interview. The selection of Ambarrukmo Plaza for the developing mall-museum model considers the seven external factors comprising: (1) location, (2) visitor contribution, (3) selection of places, (4) access / closeness to other centers, (5) attractiveness, (6) nature of the visit, and (7) thematic relation with location. The thematic relation with location as one of the most perceived aspect is the historical value of the former pesanggrahan from HB VI and VII periods. While the selection of museum location at the atrium side of Ambarrukmo Plaza consider six internal aspects as follows: (1) creating the new icon of Ambarrukmo Plaza; (2) utilizing the social media and information technology by choosing the most strategic and accessible location to public; (4) museum as a form of compensation for the "destruction" of Pesanggrahan Ambarrukmo, (5) creating a pilot project for the developing and empowering of public archaeology, (6) combining historical and cultural education with economic aspects.
Kata Kunci : Museum-mal, Arkeologi publik, Ambarrukmo