Drama Melayu Tionghoa Prakemerdekaan Periode Tahun 1912-1937: Sebuah Kajian Pascakolonial
CAHYANINGRUM DEWOJATI, S.S., M.HUM, Prof. Dr. Faruk, S.U.
2017 | Disertasi | S3 SastraDalam sejarah perkembangan kesastraan Indonesia, kontribusi kaum peranakan Tionghoa memiliki peran yang sangat penting. perkembangan drama di Indonesia banyak melibatkan orang-orang peranakan Tionghoa. Pada masa pra-Indonesia, karya drama Melayu Tionghoa ini telah banyak ditulis, diterbitkan, dan dipentaskan jauh sebelum munculnya drama Bebasari pada era Balai Pustaka. Dengan demikian, drama Melayu Tionghoa merupakan pionir sastra lakon pada zamannya dan ikut andil dalam memperkaya khazanah drama modern Indonesia. Drama Melayu Tionghoa yang ditulis pada masa prakemerdekaan itu pada umumnya merefleksikan jejak-jejak pascakolonial yang melekat pada karya sastra tersebut. Selain itu, karya drama yang ditulis oleh pengarang peranakan Tionghoa pada masa itu menunjukan adanya hibriditas hasil perjumpaan kebudayaan, negoisasi kultural, strategi budaya, dan gesekan penulisnya dengan berbagai ras dan kelas sosial di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda tersebut, para sastrawan peranakan Tionghoa pada umumnya tinggal di kota-kota besar di Indonesia yang merupakan melting pot atau zona kontak kebudayaan. Disertasi ini mengkaji jejak-jejak pascakolonial dan refleksi hibriditas yang ada di dalam 13 drama yang terbit pada masa keemasan drama Melayu Tionghoa yakni pada periode tahun 1912-1937. Drama-drama tersebut adalah Cerita Ang Tiauw Soen (Anonim, 1912), Karina Adinda (Lauw Giok Lan, 1913), Cerita Satu Ibu Tiri yang Pinter Ajar Anak (Anonim, 1917), Allah yang Palsu (Kwee Tek Hoay, 1919), Pembalasan Siti Akbari (Lie Kim Hok, 1922), Korbannya Kong Ek (Kwee Tek Hoay, 1926), Plesier Hari Minggoe (Kwee Tek Hoay, 1927), Akal Boesoek (Tan Siok Gwan, 1928) Korbanja Yi Yung Toan (Kwee Tek Hoay, 1928), Guna Saudaranya (Oen Tjhing Tiaw, 1930), Mait Idup (Kwee Tek Hoay, 1930), Pentjoeri (Kwee Tek Hoay, 1936), dan Barang Perhiasan jang Paling Berharga (Kwee Tek Hoay,1937). Dalam disertasi ini, teori yang digunakan untuk menjelaskan drama-drama Melayu Tionghoa di atas adalah teori pascakolonial Bhabha dan hibriditas Anjali Prabhu. Adapun temuan disertasi ini adalah sebagai berikut. Pertama, karya drama tersebut menunjukkan sikap ambivalensi pengarang terhadap penguasa kolonial Belanda dan masyarakat pribumi yang direpresentasikan melalui struktur dramatik, baik dalam haupttext maupun nebbentext Kedua, terdapat dinamika pergulatan dan negosiasi antarbudaya. Perjumpaan kaum Tionghoa dengan kebudayaan lainnya di Indonesia pada masa kolonial Belanda sering menimbulkan pergumulan identitas diri pada kaum peranakan Tionghoa. Hasil negosiasi budaya tersebut menciptakan identitas baru sebagai identitas yang hibrida. Ketiga, terdapat keterbelahan pola hibriditas dalam masyarakat Tionghoa karena perbedaan perspektif mengenai structure of feeling yang berkaitan dengan konsep homeland. Keempat, pada dasarnya, drama-drama Melayu Tionghoa merupakan perwujudan dari fokalisasi kaum peranakan Tionghoa di Indonesia. Melalui karya sastra, terutama drama, mereka menemukan ruang sebagai tempat untuk mengaktualisasikan diri mereka sendiri. Di samping itu, disertasi ini menunjukkan beberapa temuan klasifikasi hibriditas dalam drama Melayu Tionghoa yang terbit di Indonesia pada masa prakemerdekaan yakni hibriditas dalam drama Melayu Tionghoa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hibriditas diasporik dan hibriditas kreolistik. Selain itu, dalam disertasi ini juga membahas interseksi di dalam drama-drama hybrid tersebut yakni ras dan kelas sosial; gender, ras, dan kelas soasial; dan ras, kelas sosial, dan nasional.
The contribution of peranakan Chineses community has significant impact in history of Indonesian literatures development. In pre-Indonesia period, Malay-Chinese dramas have been popularly written, published, and performed long before the emergence of Bebasari drama in Balai Pustaka era. As a result, Malay-Chinese drama pioneers play scripts on its period and enriches the treasure of modern Indonesian drama. Malay-Chinese dramas written on pre-independence period generally reflects postcolonial traces, which are attributed on the literary works. Besides, the works written by peranakan Malay-Chinese on that period present hybridity as the outcome of culture, cultural negotiation, cultural strategy, and the friction between the author and various races and social classes in Indonesia. On Dutch colonialism period, the peranakan Chineses authors are generally live in urban side of Indonesia which is also become the melting pot or cultural contact zone. This dissertation discusses the postcolonial traces and the reflection of hybridity found on 13 dramas published on the golden era of Malay-Chinese drama, on 1912-1937 period. Those drama are Cerita Ang Tiauw Soen (Anonim, 1912), Karina Adinda (Lauw Giok Lan, 1913), Cerita Satu Ibu Tiri yang Pinter Ajar Anak (Anonim, 1917), Allah yang Palsu (Kwee Tek Hoay, 1919), Pembalasan Siti Akbari (Lie Kim Hok, 1922), Korbannya Kong Ek (Kwee Tek Hoay, 1926), Plesier Hari Minggoe (Kwee Tek Hoay, 1927), Akal Boesoek (Tan Siok Gwan, 1928) Korbanja Yi Yung Toan (Kwee Tek Hoay, 1928), Guna Saudaranya (Oen Tjhing Tiaw, 1930), Mait Idup (Kwee Tek Hoay, 1930), Pentjoeri (Kwee Tek Hoay, 1936), dan Barang Perhiasan jang Paling Berharga (Kwee Tek Hoay,1937). On this dissertation, Bhabhas theory of postcolonial and Anjali Prabus theory of hybridity are applied to analyze those 13 dramas. These are the findings of this dissertation. First, those dramas reveal the ambivalent behavior of the authors to the Dutch colonizer and native community represented by dramatic structure, both on haupttext and nebbentext. Second, there is dynamic struggling and intercultural negotiation. The encounter of Chinese community and other cultures in Indonesia on Dutch colonialism era frequently causes struggle of identity of peranakan Chinese community. The result of cultural negotiation creates new identity as hybrid identity. Third, there is division of hybridity pattern on Chinese community caused by difference of perspective about structure of feeling linked with the concept of homeland. Fourth, basically, Malay-Chinese dramas are the manifestation of peranakan Chinese communitys vocalization in Indonesia. Through literary works, especially drama, they find a room as the place to actualize themselves. Besides, this dissertation presents several findings about hybridity classification on Malay-Chinese dramas published in Indonesia on pre-independence period. The hybridity on Malay-Chinese dramas can be classified into two; diasporic hybridity and creolistic hybridity. Moreover, in this dissertation is also discussed the intersection on hybrid dramas, they are race and social class; gender, race, and social class; and race, social class, and national.
Kata Kunci : drama peranakan Melayu Tionghoa, pascakolonial, hibriditas, diaspora, kreolisasi