POLITIK JEJARING SAUDAGAR BUGIS

ANSHAR, Nur Azizah M,Sc

2016 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

ABSTRAK Studi ini ditujukan untuk menjelaskan politik jejaring saudagar bugis khususnya di Kabupaten Wajo. Alasan penulis memilih saudagar bugis dalam penelitian ini , pertama, wacana dinamika elit politik khususnya di Sulawesi Selatan didominasi oleh wacana kelompok ningrat-bangsawan sehingga wacana diluar kelompok tersebut, termasuk wacana saudagar bugis, sangat sulit untuk ditemukan. Kedua , saudagar bugis adalah kelompok yang kuat dan elit yang patut diperhitungkan dalam dinamika politik mengingat representasi aktor politik Sulawesi Selatan di tingkat nasional didominasi oleh saudagar. Pada kenyataan, dalam dinamika politik di tingkat lokal khususnya di Kabupaten Wajo, saudagar telah menunjukkan dominasinya dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk mengambarkan praktik saudagar dalam berjejaring dengan memfokuskan penelitian untuk menjawab pertanyaan Bagaimana saudagar Bugis memanfaatkan strategi dan jejaring dalam mengoptimalkan peluangnya dalam pemilu legislatif 2009 Kabupaten Wajo? Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan konsep Pierre Bourdieu yaitu modal, habitus, arena, dan praktik dalam menggambarkan praktik berjejaring saudagar bugis di Kabupaten Wajo. Dari hasil temuan lapangan menjelaskan bahwa kemunculan saudagar bugis sebagai kelompok dengan modal ekonomi dipertahankan dan dikembangkan melalui habitus berdagang yang disosialisasikan sejak dini dalam keluarga. Besarnya volume modal ekonomi kemudian menjangkau ke sektor yang lain diluar perdagangan. Volume modal ekonomi saudagar bugis menjadi energi dalam pembentukan modal sosial berupa jejaring bercorak hirarki ditiap sektornya. Kemampuan saudagar bugis mengkonversi modal ekonomi mereka ke modal simbolik berupa status yang dikesankan dari parade benda dan prilaku menempatkan saudagar dalam posisi istimewa dan menegaskan modal kultural dan modal simbolik mereka dalam masyarakat. Pengakumulasian modal dalam struktur yang lebih beragam serta volume yang lebih besar menjadikan saudagar lebih mudah dalam melakukan mobilitas status ke atas. Konversi modal ekonomi ke bentuk modal yang lainnya mendiferensiasi saudagar dari kelompok lainnya dalam masyarakat sekaligus menciptakan ketimpangan yang berujung pada dominasi mereka terhadap praktik pengikut dalam jejaring. Dominasi tersebut kemudian mewujud dalam kesamaan sikap yang ditunjukkan oleh pengikut dalam arena politik termasuk dalam pemilu. Sehingga keterpilihan saudagar bugis dalam pemilihan umum legislatif di Kabupaten Wajo adalah gambaran kekuasaan saudagar bugis melalui dominasi mereka terhadap pengikut dalam jejaring sekaligus sebagai parade simbolik melalui praktik pengikut yang terkonfirmasi melalui capaian suara mereka dalam pemilu legislatif di Kabupaten Wajo.

ABSTRACT This study is aimed to describe the networking politics of Bugis tradesmen especially in Wajo regency. The reason for choosing Bugis tradesmen in this research are: 1) the political discourse of the elites particularly in South Sulawesi is dominated by the noblemen with the result that the other groups out of it including Bugis tradesmen are rarely found, 2) the Bugis tradesmen group is considered strong and the elites should be treated in the political dynamics since the representation of the South Sulawesi actors in politics at national level is still dominated by the tradesmen, while in fact, in the political dynamics at local level especially in Wajo regency, the tradesmen have shown their domination in the general election of legislative in 2009. Seeing this fact, the research offers to depict the networking practices of the tradesmen. This research focuses on answering the question of how Bugis tradesmen utilize strategies and networking in optimizing their opportunities in the general election of legislative of Wajo regency in 2009. The researcher employs the concept of Pierre Bourdieu to answer the question. That concept helps to analyze the capital, habitus, field, and practice performed by the Bugis tradesmen in networking. Based on the observation result, the emergence of the Bugis tradesmen as a group with capital is maintained and developed through trading habitus early socialized in the family. The big amount of the economic capital also develops to the other fields out of the trading. The volume of the economic capital of the Bugis tradesmen has become a power of forming a social capital characterized by a hierarchical networking in each sector. The ability to converse their economic capital to symbolic capital in form of a status impressed through a parade of entities (things) and behaviors has set the tradesmen to a special position and has assigned their cultural capital and symbolic capital in the society. The capital accumulation in a various structure and in a bigger volume has made the tradesmen easier to an up-leveled mobility. The conversion of the economic capital to the other forms of capital has differentiated the tradesmen from the other groups in the society, and at once has created gaps ending with their domination to the practices of those followers of the networking. That domination is then materialized in the same attitude performed by the followers in the political field including the general election. The chosenness of the Bugis tradesmen in the general election of legislative in Wajo regency is a depiction of the Bugis tradesmen’s power through their domination to the followers in the networking, and at a time as a symbolic parade through the practices of the followers as confirmed in the result of their votes for legislative in the general election in Wajo regency.

Kata Kunci : Saudagar, modal, habitus, praktik, pemilu , tradesmen, capital, habitus, practice, general election