Laporkan Masalah

KONSTRUKSI HUKUM PENGUASAAN TANAH NEGARA DALAM SISTEM HUKUM TANAH NASIONAL

JULIUS SEMBIRING, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., MCL., MPA; Prof. Dr. Endriatmo Sutarto, M.A.

2016 | Disertasi | S3 Ilmu Hukum

Dilihat dari status penguasaannya terdapat 3 (tiga) entitas tanah yaitu: tanah hak, tanah ulayat dan tanah negara. Sebagai akibat dari politik hukum agraria baik kolonial maupun nasional maka terdapat permasalahan-permasalahan tanah negara baik yang bersifat normatif maupun empiris. Permasalahan normatif tanah negara terjadi dikarenakan adanya sektoralisasi penguasaan sumber daya alam yang mengakibatkan terjadinya sektoralisasi penguasaan tanah negara. Sebagai dampaknya, permasalahan empiris tanah negara menunjukkan adanya keragaman persepsi dan status tanah negara yang terjadi pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan. Kajian penelitian ini difokuskan pada penguasaan tanah negara pada ketiga otoritas tersebut dengan mengajukan 2 (dua) permasalahan terkait isu: (1) konsepsi penguasaan tanah negara menurut Hukum Tanah Nasional; dan (2) konstruksi hukum penguasaan tanah negara berdasarkan Hak Menguasai Negara. Jawaban atas permasalahan di atas diperoleh dengan melakukan pendekatan normatif dan empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan melihat pada ketentuan yang mengatur tanah negara, sementara itu pendekatan empiris dilakukan dengan mengkaji kasus-kasus penguasaan tanah negara dalam administrasi pertanahan dan praktik peradilan. Selain itu dilakukan juga pengkajian terhadap wewenang-wewenang yang lahir berdasarkan Hak Menguasai Negara pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah: pertama, adanya perbedaan konsepsi tanah negara antara sistem hukum tanah Kolonial dengan sistem hukum tanah Nasional. Dalam sistem hukum tanah Kolonial tanah negara adalah tanah yang dimiliki oleh Negara, sementara itu dalam sistem hukum tanah Nasional tanah negara adalah tanah yang dikuasai oleh Negara. UUPA dan peraturan perundang-undangan pertanahan terkait menyatakan bahwa tanah negara sebagai tanah yang belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah atau sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, namun tidak diperoleh penjelasan yang memadai tentang pengertian dikuasai langsung tersebut. Kenyataannya, pada tanah Negara ditemukan adanya kepentingan pihak tertentu berupa penguasaan phisik atas tanah yang dalam praktek pertanahan disebut dengan hak keperdataan atau hak prioritas yang menimbulkan permasalahan hukum. Penguasaan atas tanah negara tersebut memerlukan alas hak sebagai dasar perolehan hak atas tanah. Selain itu, berdasarkan prinsip atribusi maka pelimpahan Hak Menguasai dari Negara atas sumber daya alam pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan melahirkan kewenangan yang berkarakter publik dan perdata dalam penguasaan dan pengelolaan tanah Negara. Kedua, konstruksi hukum penguasaan tanah negara berdasarkan Hak Menguasai Negara meliputi 2 (dua) hal, yaitu: (1) tanah Negara meliputi seluruh permukaan bumi di Indonesia yang memberikan wewenang kepada Negara untuk mempergunakannya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan prinsip keadilan; (2) oleh karena konsepsi Hak Menguasai Negara didasarkan pada hukum adat, maka penguasaan dan pengelolaan tanah negara haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip hukum adat yang menempatkan hak komunal sebagai dasar lahirnya hak individual.

When seen from its status of utilization, the land can be divided into 3 (three) entities, namely: land of entitlement, customary land, and state land. As a result of the politics of the agrarian law both colonial and national normative as well as empirical issues surrounding the state land have arisen. The normative problems happen when the utilization of natural resources is divided among sectors, and this causes the utilization of a state land to be divided among sectors as well. Meanwhile, the empirical problems take place when there are various perceptions and statuses on a specific state land, drawn by land, forestry, and mining authorities. The subject of this research is focused on the utilization of state land by these three authorities, while posing 2 (two) issues, namely: (1) the conception of the utilization of state land like according to the National Land Law; and (2) the legal construction of the utilization of state land carried out according to the State's Right of Disposal. Answers to the above questions can be achieved through normative and empirical approaches. The normative approach is done by examining the rules that regulate the state land, while the empirical approach assesses cases of utilization of state land both in land administrations as well as in legal practices. Moreover, examinations are also conducted over the authorizations born out of the State's Right of Disposal in the land, forestry, and mining authorities. The results achieved by this research are: first, there are discrepancies of the concept of state land within the Colonial system and the National system. In the Colonial system, the land law sees state land as a land owned by the state, while the National system's land law views state land as a land utilized by the state. Basic Agrarian Law (UUPA) and various related legislations stipulate that state land is a land that has no rights attached to it or a land directly utilized by the State, and yet there is no proper elucidation regarding the term directly utilized. In reality, a State land can see the interests of certain parties as possessors which is practically referred to as private individual right or priority rights that have led to various legal problems. However, possession on state land require land title to attain land right. In addition, according to the principles of attribution, as the State's Right of Disposal over natural resources are delegated to land, forestry, and mining authorities, authorizations marked by public and civil characteristics in the control and management of State land have arisen. Second, the legal construction of the utilization of state land according to State's Right of Disposal consists of 2 (two) things, namely: (1) State land covers all surface of the Indonesian land over which the State has the authority to utilize for the greater welfare of the people according to principles of justice; (2) since the conception of the State's Right of Disposal is based on the customary law, the control and management of state land must therefore be based on customary law principles that place communal rights as the basis for the founding of individual rights.

Kata Kunci : tanah negara, alas hak atas tanah, hak menguasai negara.

  1. S3-2016-306158-abstract.pdf  
  2. S3-2016-306158-bibliography.pdf  
  3. S3-2016-306158-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2016-306158-title.pdf