Laporkan Masalah

Industri Tenun Lurik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Kecamatan Pedan Klaten di Tengah Persaingan Global

HARIYANTO, Isbandono, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc

2010 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Kebutuhan dasar manusia akan sandang telah melalui sejarah panjang sesuai dengan perkembangan tingkat kebudayaan manusia. Tenun lurik pada awalnya hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia akan bahan sandang. Motif tenun lurik memiliki makna tertentu dan merupakan penggambaran falsafah hidup pemakainya. Nama-nama motif tenun lurik tradisional diambil dari flora dan fauna di lingkungan sekitar, serta diambil dari benda-benda yang dianggap sakral yang akan memberi berkah serta lindungan dari segala malapetaka, dengan istilah tolak bala. Nama-nama motif tradisional tersebut antara lain, motif Tumenggungan, Bribil, Liwatan, Tumbar Pecah, Lasem, dan motif Telu Pat. Dalam perkembangannya, tenun lurik tidak hanya digunakan sebagai bahan sandang, tetapi lebih luas lagi dapat digunakan dalam berbagai bentuk seperti bahan interior dan pelengkap busana. Produk-produk nonsandang ini dibuat dengan menggunakan bahan dari perpaduan benang dan nonbenang yang berupa serat alam. Salah satu sentra tenun lurik ATBM di Indonesia berada di Kecamatan Pedan Klaten. Daerah Pedan telah menjadi pusat industri tenun lurik sejak tahun 1952, namun keberadaan industri tenun lurik Pedan saat ini mulai tergeser oleh produkproduk tekstil pabrikan. Hal ini menyebabkan sebagian besar perajin lurik tidak mampu bertahan. Salah satu perajin tenun yang mampu bertahan hingga saat ini adalah Raden Rachmad yang merupakan pemilik industri tenun lurik PT “Sumber Sandang”. Kunci kesuksesan Rachmad dalam mempertahankan industri tenunnya adalah inovasi. Rachmad bukan hanya mengolah motif-motif baru tetapi juga mengkombinasikan benang lawè dengan berbagai bahan dari alam, seperti rami, akar wangi, rosella, ijuk, èncèng gondhok, dan serat agel. Selain itu kesuksesannya juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti pasar dan kebijakkan pemerintah yang mendukung keberadaan industri kecil.

Clothing, as one of the basic human needs, has been gone through rises and falls in a long history along with the development of culture. Indonesian traditional textile is famous for its wealth in art depiction with various decorative motifs representing diverse areas that can be identified from the design. A name of a certain design contains definite meaning and manifests the wearers life philosophy. The traditional design names are taken from the beneficial flora and fauna realm. There are also names that are obtained from sacred things that bring fortune and protect human from disaster, what is so called the tolak bala. Those traditional motif names among others are Tumenggungan, Bribil, Liwatan, Tumbar Pecah,Lasem, and Telu Pat. In its improvement process, the Lurik woven cloth is not only used as clothing material but it is also used in different applications as the material in interior design field, accessories, and other products. These non clothing products are usually made of a basic material in the form of a mixture of the thread and a non thread material, namely natural fiber. One of the lurik woven fabric centers in Indonesia is Pedan, a region in Klaten Regency. This area has been a center of lurik woven fabric since 1952. Unfortunately, the existence of the lurik industries in Pedan now begins to be replaced by the products manufactured in factories. One of the enduring lurik artisan is Raden Rahmad, the owner of the PT Sumber Sandang lurik industry. The key word of Rahmad's success is innovation. He routinely develops the motif by creating new motifs and combining lawe thread with natural fibers such as hemp, vetiver, rosella, sugar palm fiber,water hyacinth, and agel fiber.

Kata Kunci : Lurik, Sandang, Tenun

  1. S2-PAS-2010-ISBANDONO_HARIYANTO-ABSTRACT.pdf  
  2. S2-PAS-2010-ISBANDONO_HARIYANTO-BIBLIOGRAPHY.pdf  
  3. S2-PAS-2010-ISBANDONO_HARIYANTO-TABLEOFCONTENT.pdf  
  4. S2-PAS-2010-ISBANDONO_HARIYANTO-TITLE.pdf