Kehidupan karawitan gaya Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta
KRISWANTO, Prof.Dr. I Made Bandem, MA
2003 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaPeristiwa terjadinya perjanjian Giyanti (1755) amat berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan era berikutnya. Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang merupakan pecahan Kerajaan Mataram akibat Perjanjian Giyanti, saling bersaing dalam mengembangkan kebudayaannya. Timbul kemudian budaya Surakarta dan budaya Yogyakarta. Selanjutnya terhadap unsur-unsur budaya yang dikembangkan, kedua kerajaan memberi identitas dengan gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Karawitan gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta sebagai bagian dari unsur budaya ikut mengalami persaingan dalam memperebutkan penggemarnya. Kedua gaya itu memang memiliki karakter berbeda, gaya Surakarta lebih menekankan sifat prenes, romantik, dan lembut; sedang gaya Yogyakarta lebih menekankan sifat agung, gagah, dan mantap. Keduanya sama-sama berkembang dengan baik di wilayahnya karena memang dikehendaki oleh penguasa. Puncak perkembangan ini terjadi pada masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893- 1939) di Surakarta dan masa Pemerintahan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) di Yogyakarta. Ketika terjadi perubahan sosial yang ditandai adanya transisi dari pemerintahan feodalisme ke pemerintahan demokratis, perkembangannya tidak begitu seimbang. Bahkan karawitan gaya Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta nampak lebih banyak penggemarnya. Pada umumnya perkembangan kesenian selalu mengikuti proses perubahan kebudayaan, kecuali apabila sikap tradisionalistik masih melekat kuat terhadap kebudayaannya. Penelitian ini dilakukan untuk mencoba menelaah mengapa hal tersebut dapat terjadi, mengingat Yogyakarta sendiri memiliki karawitan yang berasal dari satu akar, Mataram. Untuk dapat mengupasnya lebih jauh, dalam penelitian ini digunakan pendekatan multidisiplin yang mengedepankan aspek sejarah, sosiologi, antropologi, dan etnomusikologi. Dengan menerapkan berbagai pendekatan tersebut diharapkan dapat menguak berbagai hal yang menyebabkan ka-rawitan gaya Surakarta hidup subur di D.I.Y. Hal tersebut kiranya tidak dapat terlepas dari eksistensi Pura Paku Alaman, R.R.I. Yogyakarta, hotel-hotel, dan toko-toko kaset yang memiliki andil besar dalam pengembangan karawitan gaya Surakarta. Terlebih karawitan gaya Surakarta telah dibakukan sejak lama, sehingga lebih memudahkan bagi pemula untuk mempelajarinya. Karakter prenes dan lembut lebih disukai masyarakat untuk kebutuhan santapan estetis sehari-hari. Tentu penelitian ini tidak bertujuan memberikan garis pembatas antara kedua gaya tersebut, melainkan sekedar memberikan informasi tentang fenomena dan realitas yang terjadi dewasa ini berdasarkan kajian ilmiah dengan mengedepankan aspek historis dan ilmu pengetahuan sebagai bahan pijakan.
The event of Giyanti agreement (1755) has given much influence to the development of culture in the next era. The dominion of the Sunan Surakarta and the Sultanate of Yogyakarta which are small parts of Mataram Kingdom caused by Giyanti agreement, compete with each other in developing their cultures. As the consequences of it rises the culture of Surakarta and Yogyakarta. For the components of culture, then, are developed, and the two kingdoms give them identities with the Surakarta and Yogyakarta style. The gamelan music of Surakarta and Yogyakarta as the parts of the components of the culture compete for recruiting thir lovers. The two styles, indeed, have different characteristic, the Surakarta style move emphasizes the characteristic of prenes, romantic, and gentle; while Yogyakarta style move emphasizes the characteristic of great, smart, and steady. They both develop well in their own areas for they are requied by their authorities. The top of this development occurred when the kingdom was under the administration of Paku Buwana X (1893-1939) in Surakarta and Hamengku Buwana VIII (1921-1939) in Yogyakarta. When the social changes accured of which marked by the transition from feudalism administration to democratic, their development is not balance. Even the gamelan music of Surakarta in the special distric of Yogyakarta has move lovers. In general, the development of art always follows the process of culture changes, exept the power of traditionalism is still attaching firmly to its culture. This research is conducted for trying to learn why those cases occur, considering that Yogyakarta itself has gamelan music which comes from one source, namely Mataram. For further analysis, the writer, in this research uses the interdisciplin approach which puts forward the aspects of history, sociology, anthropology, and ethnomusicology. By applying those approaches, they are expected to be able to discover the factors which cause the gamelan music of Surakarta exists in the special distric of Yogyakarta. It, of course, cannot be separated from the existance of Pura Paku Alaman, RRI Yogyakarta, hotels, and cassete shops of which have given much contribution in the development of gamelan music of Surakarta. Furthermore, the gamelan music of Surakarta has been the standardized for a long time, so, it eases the beginners to learn it. The characteristic of prenes and gentle are enjoyed more by society for the consumtion need of the daily aesthetic. Certainly, this research is not meant to give a limit between the two styles, but morely to give an information about the phenomenon and reality which occur in this era on the basis of scientific analysis by putting forward the historical aspect and science as the orientation materials.
Kata Kunci : Karawitan Jawa,Gaya Surakarta,Daerah Istimewa Yogyakarta, The development of Gamelan Music of Surakarta.