Laporkan Masalah

Konstruksi Identitas Budaya Mahasiswa Ngapak di Lingkungan Berbasis Kesultanan: Studi pada Mahasiswa Ngapak di Yogyakarta

SEKAR RAHMADHILA, Nurul Aini, S.Sos., M.Phil.

2022 | Skripsi | S1 SOSIOLOGI

Kehidupan mahasiswa Ngapak di Yogyakarta merupakan sebuah fenomena sosiologis yang penuh dengan persoalan. Dalam interaksinya, bahasa Ngapak sering dijadikan bahan olokan karena aksennya yang distingtif dari aksen bahasa Jawa pada umumnya (terutama di Yogyakarta) yang kemudian dianggap aneh dan lucu. Bahasa Ngapak memiliki karakter blakasuta yang mengedepankan keterusterangan. Secara sosio-historis wilayah Ngapak merupakan daerah mancanegara atau merupakan daerah yang berada di luar kekuasaan dari kerajaan-kerajaan dan keraton-keraton Jawa pada masa lalu. Penerapan bahasa Jawa yang digunakan oleh kerajaan dan keraton Jawa yang bertingkat-tingkat menjadi sejarah awal peminggiran bahasa Ngapak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat proses konstruksi, rekonstruksi, dan negosiasi mahasiswa Ngapak di Yogyakarta sebagai kaum terpelajar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Proses pengambilan data menggunakan observasi dan juga wawancara mendalam dengan mahasiswa Ngapak yang sedang berkuliah di Yogyakarta. Konstruksi identitas orang Ngapak di wilayah Ngapak terbentuk oleh 6 lageyan, yaitu Cowag, Mbloak, Dablongan, Ndobol, Mbanyol, dan Ndopok yang menjadi ciri utama karakter atau watak dari orang Ngapak, di mana seluruh informan mengaku bangga dengan identitas tersebut. Namun karena sejarah peminggiran bahasa dan budaya Ngapak, orang Ngapak di Yogyakarta terkonstruksi sebagai kaum pinggiran yang kampungan dan berkelas rendah. Oleh karena itu, mahasiswa Ngapak merekonstruksikan identitas budayanya dengan berbagai motif yaitu untuk mencapai efektivitas, harga diri, kontinuitas, kekhasan, dan ketergolongan. Dalam menegosiasikan identitas budayanya, mereka mengadaptasi berbagai bahasa lain seperti bahasa Jawa Bandhekan hingga bahasa Indonesia dengan aksen Jakarta, yang dipengaruhi oleh gender dan lingkungan. Hal menarik yang didapatkan dari melihat ketiga proses tersebut adalah bahwa identitas Ngapak terasa lebih kuat ketika berada di dalam wilayah budayanya dan melemah ketika berada di luar wilayah budayanya, berbanding terbalik dengan asumsi teori diaspora. Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Ngapak di Yogyakarta ini menguatkan bukti bahwa diskriminasi pada bahasa dan budaya Ngapak tetap langgeng karena Kesultanan masih menjadi narasi dominan di Yogyakarta, dan masih mempengaruhi kaum terpelajar sekalipun.

The life of Ngapak students in Yogyakarta is a sociological phenomenon full of issues. Within their interactions, the Ngapak language is often made fun of because of its distinctive accent from Javanese accent in general (especially in Yogyakarta) which is considered strange and funny. The Ngapak language has a blakasuta character that emphasizes candor. Socio-historically, the Ngapak region was considered as an area that was outside the dominion of Javanese kingdoms and sultanate in the past. The application of tiered Javanese language from them became the early history of the marginalization of Ngapak. Therefore, this study aims to examine the process of construction, reconstruction, and negotiation of Ngapak students in Yogyakarta as an educated group. This study uses a qualitative method with a phenomenological approach. The data collection process used observation and in-depth interviews with Ngapak students who were studying in Yogyakarta. The identity construction of Ngapak in their own area is formed by 6 lageyan, namely Cowag, Mbloak, Dablongan, Ndobol, Mbanyol, and Ndopok which are the main characteristics of the people of Ngapak, where all informants claim to be proud of that identity. However, because of the marginalization history of Ngapak language and culture, the Ngapak people in Yogyakarta are constructed as fringe people who are plebeian and considered low-class. Therefore, Ngapak students in Yogyakarta reconstruct their cultural identity with various motives, namely to achieve effectiveness, self-esteem, continuity, uniqueness, and classifiability. In negotiating their cultural identity, they adapt various other languages such as Bandhekan Javanese to Indonesian with Jakartan accent, which is influenced by gender and environment. The interesting thing from looking at those three processes is that the Ngapak identity feels stronger when it is inside its cultural area and weakens when outside its cultural area, in contrast to the assumptions of the diaspora theory. This phenomenon that happened to Ngapak students in Yogyakarta strengthens the evidence discrimination towards Ngapak language and culture remains lasting because the Sultanate is still the dominant narrative in Yogyakarta, and it still affects the educated people.

Kata Kunci : Ngapak, Konstruksi Identitas, Negosiasi Identitas

  1. S1-2022-413264-abstract.pdf  
  2. S1-2022-413264-bibliography.pdf  
  3. S1-2022-413264-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2022-413264-title.pdf