Laporkan Masalah

Rencana Bisnis Pengembangan Media Garis Tengah Football Menjadi Akademi Sepak Bola

MUH. RENO FANDELIKA, Boyke Rudy Purnomo, S.E., M.M., PhD., CFP

2022 | Tesis | Magister Manajemen

Pengembangan pemain muda adalah salah satu permasalahan besar di industri sepak bola Indonesia. Sejak puluhan tahun yang lalu, pengembangan pemain muda hanya mengandalkan sekolah sepak bola, diklat, serta Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar. Kemudian tiga hingga empat tahun terakhir, muncullah Elite Pro Academy di mana klub kasta tertinggi Liga Indonesia diharuskan memiliki program pembinaan pemain muda. Namun prakteknya di beberapa klub, hal tersebut tidak efektif di mana beberapa klub tidak memfokuskan pada pembinaan melainkan seleksi ketika kompetisi akan mulai dan membubarkan tim ketika kompetisi telah selesai. Hal ini cukup disayangkan. Tidak mengherankan bahwa kebanyakan pemain profesional di Indonesia saat ini, kemampuan dasar mengolah bola masih kurang dikuasai. Idealnya, kemampuan ini dipelajari pada saat latihan sepak bola di kelompok usia di bawah 10 tahun. Masalahnya di Indonesia, cukup sedikit sekolah sepak bola dan akademi yang memulai pelatihannya untuk anak-anak berusia 10 tahun ke bawah. Hal ini berdampak kepada program pengembangan pemain muda yang jauh dari ideal: tidak ada struktur dan jenjang yang jelas. Akademi berbasis sekolah mungkin dapat menjadi solusinya. Namun selama ini, akademi berbasis sekolah di Indonesia hanya dibuka untuk jenjang SMP atau SMA saja. Melihat hal tersebut, Garis Tengah Football yang sebelumnya bergerak di bidang media, tertarik untuk menjawab permasalahan akademi sepak bola di Indonesia. Selama ini media Garis Tengah Football adalah bisnis yang berbasis hobi sehingga tidak ada fokus di sana. Hal tersebut berimbas kepada aliran pendapatan media yang hanya bergantung kepada hasil membayar kembali oleh pemasang iklan dan sponsor atas pengeluaran yang dilakukan untuk produksi. Maka dari itu, pembuatan akademi dengan konsep full day school untuk jenjang Sekolah Dasar dan boarding school untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas dapat menjawab permasalahan pengembangan pemain muda di Indonesia dan permasalahan Garis Tengah Football. Nantinya, akademi akan menyeimbangkan pelatihan sepak bola dengan pendidikan formal lewat kerja sama dengan beberapa pihak untuk penyelenggaraan latihan sepak bola dan penyelenggaraan pendidikan. Di jenjang SMA, akan ada dua penjurusan yaitu terkait taktik sepak bola dan manajemen sepak bola. Harapannya, siswa akademi yang nantinya gagal menjadi pemain profesional, tetap memiliki keterampilan lain di industri sepak bola dan bukan tidak mungkin akan melanjutkan studi program under graduate terkait manajemen olahraga, manajemen sepak bola atau yang sejenis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data primer berupa wawancara kepada 11 narasumber dengan rincian lima narasumber pengamat sepak bola dan pelaku industri sepak bola Indonesia, lima narasumber segmen calon konsumen dengan kriteria sudah menikah, menyukai sepak bola, dan memiliki anak yang tergabung dalam sekolah sepak bola atau akademi, serta narasumber terakhir adalah direktur akademi sebuah klub di Indonesia. Wawancara dilakukan dengan terstruktur dan hasilnya diolah dari transkrip wawancara lalu menjadi peta empati dan lean business model canvas. Berdasarkan hasil analisis penelitian, modal yang dibutuhkan untuk membuat akademi ini adalah Rp. 70. 219.630.761 dan diperoleh NPV sebesar Rp. 510.940.770.701, IRR sebesar 23%, dan nilai pengembalian selama 9 tahun 4 bulan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rencana bisnis ini layak untuk dijalankan.

The development of young players is one of the big problems in Indonesian football industry. Since decades ago, the development of young players in Indonesia has only relied on football schools as well as PPLP. Then in the last three to four years, the Elite Pro Academy has appeared. It requires clubs in the Indonesian First Division League to have a youth player development program. But in some clubs, it is not effective. They are not focusing themself on coaching. Instead, they will hold a selection when the competition nearly starts and dismiss the team when the tournament has finished. This is quite unfortunate. It is not surprising that for most professional players in Indonesia today, the basic skills of processing the ball are still poorly mastered. Ideally, this ability is learned during soccer practice when aged ten or below. The problem is that in Indonesia, quite a few soccer schools and academies have started training for children aged 10 and under. This has an impact on the youth development program which is far from ideal: there is no clear structure and level. School-based academies may be the solution. But so far, school-based academies in Indonesia have only been opened for junior high or high school levels. Seeing this, Garis Tengah Football, which previously worked in the media sector, was interested in answering the problems of football academies in Indonesia. So far, Garis Tengah Football is a hobby-based business, so there is no focus there. This has an impact on the media's revenue streams that depend solely on the results of reimbursement by advertisers and sponsors for expenses made for production. Therefore, the creation of an academy with the concept of a full-day school for the elementary school level and boarding school for the junior high and senior high school levels can answer the problems of developing young players in Indonesia and the problems of Garis Tengah Football itself. When the academy opened, it will balance soccer training with formal education by collaborating with several parties to organize soccer training and provide education. At the high school level, there will be two majors, namely football tactics and football management. The hope is that academy students who later fail to become professional players will still have other skills in the football industry and it is not impossible to continue studying undergraduate programs related to sports management, soccer management, or the like. This study uses a qualitative method with primary data collection in the form of interviews with 11 sources consisting of five football observers and stakeholders of the Indonesian football industry, five sources for the prospective consumer segment with the criteria of being married, loving soccer, and having children who are members of a soccer school or football academy. The last source was the academy director of a club in Indonesia. Interviews were conducted in a structured manner and the results were processed from interview transcripts and then became an empathy map and lean business model canvas. Based on the results of the research analysis, the capital needed to build this academy is Rp. 70. 219,630,761 and obtained an NPV of Rp. 510,940,770,701, IRR of 23%, and the payback period of 9 years and 4 months. Thus it can be said that this business plan is feasible to run.

Kata Kunci : Industri sepak bola, pengembangan pemain muda, akademi sepak bola, pengembangan terstruktur dan berjenjang, peta empati, lean business model canvas

  1. S2-2022-470976-abstract.pdf  
  2. S2-2022-470976-bibliography.pdf  
  3. S2-2022-470976-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2022-470976-title.pdf