Laporkan Masalah

Well-Being dalam Masyarakat Bali: Pencapaian Materi untuk Pemenuhan Biaya Sosial dan Spiritual (Studi Etnografis di Desa Pejaten, Kabupaten Tabanan, Bali)

I KADEK PRAS SETIAWAN, Prof. Dr. Susetiawan, S.U.

2022 | Skripsi | S1 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Skripsi ini mendiskusikan bagaimana orang-orang Bali memandang hidup yang baik (well-being). Sering kali, well-being dilihat terbatas pada kondisi material, dengan pengejaran dan akumulasinya menjadi kultus, seakan-akan adalah panacea yang mengkompensasi segalanya. Doxa semacam ini problematik. Apakah well-being dapat [terus-terusan] dilihat seperti itu? Dan, apakah cukup memandangnya demikian? Menjadi menarik untuk menelusurinya lebih lanjut. Dalam hal ini, saya menelusuri bagaimana orang-orang Bali memaknai hidup yang baik (subjective well-being), yang ditelusuri dalam relasi kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Lebih lanjut, saya membagi dan menstratifikasi unsur well-being menjadi dua: materi dan non-materi, yang diturunkan artikulasinya (sebagai domain faktual) pada kerja yang didalamnya termaktub nilai: kerja ekonomi, sosial, spiritual, dan reproduktif. Nilai-nilai yang hendak diapropriasi melewatinya adalah yang menjadi objek amatan, sekaligus saya benturkan pada pandangan eudaimonic (a way of behaving) dan hedonic (a way of feeling) yang menjadi dua pandangan normatif atas well-being. Penelitian ini menggunakan metode etnografi, dengan core method pengumpulan data secara primer adalah observasi partisipan, kemudian wawancara, dan penelitian pustaka. Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa, kondisi material (ekonomi) menjadi unsur penting dalam menggapai well-being, menjadi conditio sine qua non (prasyarat mutlak) mencapai orientasi non-material (hal-hal simbolik, sosial, etik, spiritual, psikologis), terutama adalah orientasi sosial dan spiritual. Dalam hal ini, kesejahteraan material difungsikan untuk memenuhi kepentingan sosial dan spiritual, selain untuk kebutuhan subsistensi biologis, bukan untuk mengakumulasi kenikmatan hedonis melalui konsumsi materi yang justru ditempatkan sekunder. Karenanya, dalam kehidupan orang-orang Bali, well-being terkait dengan keberfungsian sosial dan pencapaian tujuan spiritual. Materi menempatkan diri sebagai instrumen, bukan tujuan. Lalu, penggapaian well-being tidak dilakukan secara individual, melainkan secara kolektif lewat kerja sama di dalam keluarga dan masyarakat. Dalam relasi ini, setiap individu berurusan dengan pemenuhan kesejahteraan orang-orang lain yang berada dalam lingkup keluarga dan masyarakatnya (terlebih secara adat). Dalam keluarga, penanggungan kesejahteraan dilakukan secara berkesinambungan dalam relasi generasional, secara bergantian (unit aktif dan unit pasif) dan timbal-balik. Kemudian, dalam masyarakat, penanggungan kesejahteraan dilakukan dalam relasi pertukaran yang tujuan utamanya untuk membantu setiap anggota mencapai tujuan spiritual. Dalam hal inilah, kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat menjadi satu-kesatuan, tak bisa dipisahkan dalam upaya penggapaian well-being.

This research discusses how the Balinese view a good life (well-being). Often, well-being is seen narrowly to material conditions, with material pursuit and accumulation becoming a cult and a panacea that compensates for everything. This sense is problematic. Is well-being [always] can be seen as such? And is it enough to look at it that way? It would be interesting to explore it further. With it, I explore how the Balinese view of subjective well-being, which I explore in the lives of individuals, families, and community. Hence, I divide and stratify the aspects of well-being into two: material and non-material, which I derive the object of view on work (economic, social, spiritual, and reproductive work) which contains values and meanings. Meanings (value orientations) that I see through it are the main objects that I observe, with I collide with the relation of eudaimonic (a way of behaving) and hedonic (a way of feeling) views which are the two main sense of well-being. This study uses ethnographic research methods, with the core method of collecting data is primarily participant observation, then interviews, and secondary research. This study shows that economic conditions are the main prerequisite in achieving well-being, as a conditio sine qua non to acquire non-material orientation (symbolic, social, ethical, spiritual, psychological). In this regard, the Balinese see well-being through social and spiritual purposes, and economics is used to fulfill that objective. Accumulating pleasure through material consumption is not the objective of life. Thus, in Balinese life, well-being is more a condition of social functioning and spiritual attainment. Economics itself is just an instrument, not the goal itself. Then, achieving well-being can't be done by an individual alone, but through cooperation within the family and community. In these relations, each deal with others' well-being, within the family and the community. In the family, efforts to well-being are carried out continuously in family relations. Meanwhile, in community, the effort to well-being is carried out in an exchange relationship among the people to help each other achieve spiritual purposes. Therefore, in Balinese life, the lives of individuals, families, and communities are inseparable to achieve well-being.

Kata Kunci : Kesejahteraan, kesejahteraan subjektif, nilai, materi dan non-materi, orang Bali

  1. S1-2022-413194-abstract.pdf  
  2. S1-2022-413194-bibliography.pdf  
  3. S1-2022-413194-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2022-413194-title.pdf