Laporkan Masalah

Achieving Economic, Ecological and Social Balances of Sebangau National Park

MEI MEI MEILANI, Prof. Dr. Ahmad Maryudi, S.Hut., M.For.; Prof. Dr. Ir. Wahyu Andayani, MS; Dr. Ir. Lies Rahayu Wijayanti Faida, MP.

2022 | Disertasi | DOKTOR ILMU KEHUTANAN

Indonesia menghadapi beragam permasalahan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti perambahan, perburuan liar, perdagangan ilegal satwa dan tumbuhan yang dilindungi, serta konflik antara kawasan konservasi dengan masyarakat sekitar, terutama masalah ekonomi. Terjadinya konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat sekitar kawasan yang direfleksikan oleh keluhan yang dialami masyarakat terkait pembatasan akses untuk memanfaatkan sumber daya kawasan konservasi menunjukkan adanya ketimpangan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial kawasan konservasi, serta menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penetapan kawasan konservasi. Dengan menggunakan perspektif "keadilan lingkungan", penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses penetapan Taman Nasional Sebangau (TNS) sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi di Indonesia, beserta pengelolaannya, dan dampaknya terhadap mata pencaharian masyarakat dari sumber daya hutan. Penelitian ini juga menganalisis upaya mencapai "keseimbangan" dari tiga tujuan kawasan konservasi, yang juga menjadi pertanyaan penelitian utama. Istilah "keseimbangan" yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya untuk meningkatkan aspek sosial dan ekonomi dari pengelolaan taman nasional karena diasumsikan bahwa aspek lingkungan biasanya memang telah menjadi prioritas dan telah dielaborasi secara mendalam dibandingkan dengan aspek ekonomi dan sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. TNS dan desa-desa di sekitarnya dipilih sebagai lokasi studi kasus karena penetapan TNS dilakukan dengan mengubah status kawasan hutan dari produksi menjadi konservasi. Tiga desa contoh dipilih secara purposive untuk mewakili berbagai kelompok pemangku kepentingan, jenis mata pencaharian, jenis desa (tradisional atau transmigrasi), suku, dan lokasi. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus, survei rumah tangga, wawancara mendalam, observasi, dan dokumen yang relevan. Data kemudian dianalisis menggunakan kombinasi analisis kuantitatif (statistik deskriptif) dan analisis kualitatif (menggunakan kerangka hukum, kerangka keadilan lingkungan, analisis pemangku kepentingan, dan analisis konten). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan dan perluasan kawasan konservasi telah memberikan kontribusi penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem, tetapi pada kawasan hutan berpenghuni, seperti TNS, telah menyebabkan masalah sosial bagi masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya hutan akibat pembatasan akses. Dari sisi keadilan lingkungan, penelitian ini menggambarkan bahwa pembentukan TNS tidak cukup memenuhi kriteria keadilan lingkungan baik dari perspektif distribusi, prosedural, maupun pengakuan, karena masyarakat tidak diajak berkonsultasi atau dilibatkan secara memadai dalam penetapan dan pengelolaan TNS. Pendekatan untuk mengurangi dampak buruk melalui penyediaan strategi mata pencaharian masyarakat, tidak sepenuhnya mempertimbangkan keragaman budaya dan adat istiadat yang berbeda dari masyarakat di sekitar TNS. Penelitian ini juga menemukan bahwa pilihan mata pencaharian yang tersedia bagi masyarakat setempat terbatas dan tidak memenuhi kebutuhan dan tuntutan khusus kelompok etnis tertentu. Secara keseluruhan, transformasi hutan produksi Sebangau menjadi kawasan konservasi secara signifikan mengganggu mata pencaharian masyarakat setempat dan menimbulkan dampak ekonomi, sosial, dan budaya yang merugikan. Analisis pemangku kepentingan menunjukkan adanya 12 pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap perkembangan akses masyarakat setempat terhadap sumber daya TNS. Dua pihak, yaitu Balai Taman Nasional Sebangau (BTNS) dan WWF Kalimantan Tengah, menjadi "pemain kunci" dalam memberikan akses kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya TNS. Di sisi lain, tokoh adat, masyarakat adat, forum masyarakat, dan kepala desa, dikategorikan sebagai "subyek" yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Upaya untuk menggeser kelompok "subyek" menjadi "pemain kunci" diperlukan untuk mencapai keadilan lingkungan dan keseimbangan tiga tujuan TNS. Perhatian yang memadai terhadap keadilan lingkungan harus dilakukan jika pengelola ingin meningkatkan penerimaan sosial dari taman nasional. Pengelola harus melibatkan masyarakat setempat secara signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional, karena masyarakat terkena dampak langsung oleh penetapan taman nasional. Pihak berwenang juga harus memahami aspek sosial budaya yang berbeda terkait dengan masyarakat setempat di sekitar taman nasional dan kebutuhan serta strategi mata pencaharian masyarakat yang berbeda. Terakhir, penyediaan alternatif mata pencaharian harus dinilai secara hati-hati dan dilakukan melalui konsultasi dengan masyarakat setempat untuk memastikan bahwa keberadaan taman nasional dapat diterima secara sosial dan budaya. Upaya penguatan pengaruh masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain mengembangkan sistem zonasi dengan melibatkan masyarakat, menyediakan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat, dan membangun kawasan penyangga. Pembentukan kawasan penyangga merupakan cara yang paling kayak karena akan meningkatkan pengaruh masyarakat secara signifikan dengan memberikan hak pengelolaan kawasan penyangga berupa hutan kemasyarakatan atau hutan desa.

Indonesia is facing several problems related to the management of protected areas including encroachment, poaching, illegal trade of protected animals and plants, as well as conflicts of interest between protected areas and local communities surrounding them, especially over economic issues. The problems, such as local communities' complaints, indicate an imbalance of environment, economic and social aspects of protected areas, as well as show injustice in the establishment of protected areas. Using the lens of environmental justice, this study aims at analysing the processes of the establishment of Sebangau National Park (SNP) as one form of protected areas in Indonesia, along with the implementation of the management activities, and its impacts on the livelihoods of forest communities. Through stakeholder analysis and regulatory framework analysis, the study also suggests some options to balance the ecological, economic, and social goals of protected areas, which is also the central research question of this study. The term "balance" is intended to enhance social and economic aspects of the management of national parks as it is assumed that the ecological aspect is usually prioritized and deeply elaborated compared to the economic and social aspects. This study employed a case study approach. SNP and its surrounding villages were selected as the case study sites since the park was established by changing the status of state forest from production to conservation. Three sample villages were purposively selected based on: (1) variety of local community's livelihood; (2) village location; and (3) type of village (traditional or transmigrant). Focus groups, household survey, in-depth interviews, observations, and relevant documents are used to collect data. The data was then analysed using a combination of quantitative analysis (descriptive statistics) as well as qualitative analysis (using environmental justice framework and stakeholder analysis, and descriptive analysis). The results of the study show that the establishment and expansion of national parks has made an important contribution to the conservation of biodiversity and ecosystems, but in an inhabited forest area such as SNP, it has led to the economic and social problems for forest dependent communities due to access limitation. In terms of environmental justice, this study depicts that the establishment of SNP did not adequately comply with the criteria of environmental justice, namely procedure, recognition and distribution, since local communities were not adequately consulted or involved in the establishment and management of the national park. Furthermore, approaches to mitigate the adverse impacts failed to fully consider the diverse cultures and customs with different livelihood strategies surrounding the park. The study also found that the options made available for local livelihoods were limited and did not meet specific needs and demands of certain ethnic groups. Overall, the transformation of the Sebangau production forest into a conservation area significantly disrupted local livelihoods and led to adverse economic, social, and cultural impacts. The stakeholder analysis shows the existence of 12 parties who have interests in and influence the management of SNP's resources. Two of them are key players, namely SNP Management and the World Wildlife Fund for Nature (WWF), while the community is a subject with high interest but low influence. Using the concept of property rights, to achieve environmental justice, it is necessary to shift the position of the community to become the key players by enhancing the influence of the community. Adequate attention to environmental justice must be made if park authorities are to improve the social acceptability of the national park. They should meaningfully engage the local communities in decision-making procedures related to park management, because they are directly impacted by the park. The authorities should also understand the different sociocultural aspects related to the local people surrounding the park and their different needs and livelihood strategies. Finally, the livelihood alternatives should be carefully assessed, and local communities should be adequately consulted to ensure that the existence of the park is socially and culturally accepted. Efforts to strengthen the influence of community can be carried out in various ways that include developing community-prioritized zoning system, providing alternative livelihoods to communities, and establishing a buffer zone. The formation of the buffer zone is the most recommended method since it will significantly improve the influence of community by granting management rights in the buffer zones in the forms of community or village forests.

Kata Kunci : national parks, forest communities, local livelihoods, environmental justice

  1. S3-2022-320333-abstract.pdf  
  2. S3-2022-320333-bibliography.pdf  
  3. S3-2022-320333-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2022-320333-title.pdf  
  5. S3-2022-435396-abstract.pdf  
  6. S3-2022-435396-bibliography.pdf  
  7. S3-2022-435396-tableofcontent.pdf  
  8. S3-2022-435396-title.pdf