WARIA DALAM SINEMA INDONESIA PADA 1970-AN SAMPAI 2011 TITIK DUA SEBUAH TINJAUAN HISTORIS

SRI ISNANI, Julianto Ibrahim, M.Hum.

2022 | Skripsi | S1 SEJARAH

Skripsi ini membahas posisi dan representasi waria dalam film-film Indonesia yang diproduksi sejak masa Orde Baru lebih spesifiknya pada tahun 1970an sampai era reformasi tepatnya sampai pada tahun 2011. Adapun film-film yang dikaji membatasi diri pada film yang mengangkat tema kehidupan waria sehingga waria menjadi tokoh utama sekaligus sebagai subjek yang kisahnya diangkat dalam film serta film-film yang menghadirkan karakter waria sebagai tokoh sampingan dengan peran-peran kecil yang terbatas. Skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah yang dimulai dari pemilihan tema sampai dengan penulisan dengan menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer berupa film, surat kabar, dan majalah sezaman, sedangkan sumber sekunder berupa buku, artikel jurnal, karya ilmiah, dan sumber online dari internet. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah kesimpulan bahwa hadirnya film yang mengangkat tema tentang waria di masa Orde Baru dilatarbelakangi oleh sejumlah hal. Pertama, film yang mengangkat tema kehidupan waria merefleksikan realitas sosial di masyarakat. Hal ini tercermin dari diproduksinya film drama Akulah Vivian: Laki-laki Jadi Perempuan yang diproduksi pada 1977 dengan kisah didasarkan pada pengalaman hidup Vivian, seorang transeksual yang melakukan operasi perubahan kelamin menjadi perempuan pada 1973. Kedua, hadirnya karakter waria dalam film, terutama film bergenre komedi dilatarbelakangi oleh motivasi untuk memenuhi selera pasar. Motif ini dibuktikan dari suksesnya film komedi Raja Copet dan Betty Bencong Slebor, dua film komedi yang populer di penghujung tahun 1970an berhasil meraih sukses komersil. Kedua film tersebut menghadirkan tokoh waria sebagai pemeran utama, keduanya ditempatkan sebagai objek hiburan dengan mengeksploitasi peran-peran lucu. Selanjutnya, berkaitan dengan representasi waria dalam sinema Indonesia, film-film yang diproduksi di masa Orde Baru sesuai dengan konteks waktunya saat itu dimana pengaruh ideologi gender yang mendefinisikan secara sempit peran laki-laki dan perempuan sekaligus hanya mengakui hubungan heteroseksual sebagai pandangan seksual yang dominan begitu kuat, sehingga film-film yang ada cenderung mengkonstruksikan waria yang berada di luar kerangka dan norma seksualitas heteroseksual sebagai sosok "liyan", dianggap "abnormal", dan perlu disembuhkan. Sementara itu, di era reformasi dengan latar belakang sosial-politik yang berbeda dengan masa Orde Baru, terutama didorong oleh euforia kebebasan berekspresi sehingga corak representasi waria dalam film-film yang diproduksi di era reformasi berbeda dengan film-film di masa Orde Baru. Dalam tingkat tertentu sejumlah film "menggugat" konstruksi waria yang ditampilkan dalam film-film Orde Baru dengan tidak lagi memotretnya sebagai sebuah "kelainan seksual", melainkan digambarkan sebagai manusia "biasa" dengan persoalan hidup kompleks.

This study discusses the position and representation of waria in Indonesian films that produced since the New Order era, especially in the 1970s until the reform era, especially in 2011. Furthermore, the films discussed are films that feature waria as the main character as well as the subject whose story is raised in films and films that feature waria as supporting actor with minor and limited roles. This study uses historical research methods starting from the selection of themes to writing by using primary and secondary sources. Primary sources consist of films, newspapers, and magazines in the period of the times, while secondary sources involve books, journal articles, scientific works, and online sources from the internet. This study concludes that the presence of films that feature waria as the main character as well as films that feature waria as the supporting actor with the minor roles in the New Order was motivated by a number of things. First, films with waria characters reflect social realities in society. This was reflected in the production of the drama film Akulah Vivian: Laki-laki Jadi Perempuan, which was produced in 1977. The story was based on the life experience of Vivian, a transsexual who underwent sex change surgery to become a woman in 1973. Second, the presence of waria characters in films, especially comedy genre films driven by the motivation to fulfill public tastes.This motive proven by the success of the comedy films Raja Copet and Betty Bencong Slebor, two comedy films that were popular in the late 1970s managed to achieve commercial success. Both films feature waria characters as the main characters, both of which were placed as objects of entertainment by exploiting its funny roles. Furthermore, regarding to the representation of waria in Indonesian cinema, the films that produced during the New Order period according to the social and political context of the time with the influence of gender ideology narrowly defined the roles of men and women and at the same time only recognizing heterosexual relations as the dominant sexual view, so that the existing films tend to construct waria who were outside the framework and norms of heterosexual sexuality as "other" figures, were considered "abnormal" and need to be cured. Meanwhile, in the reform era with different socio-political backgrounds from the New Order era, it was mainly driven by the euphoria of freedom of expression so that the representation of waria in the films was different from films that were produced during the New Order era. In a certain cases, a number of films "criticized" waria construction featured in the New Order films by no longer portraying it as a "sexual disorder", but portrayed it as an "ordinary" human being with complex life problems.

Kata Kunci : waria, film, orde baru, reformasi