KONTESTASI IDENTITAS DALAM MEMAKNAI WISATA HALAL OLEH MASYARAKAT BATAK DI PESISIR DANAU TOBA

PAULUS ALEXANDER FERDINAND BAKARA, Nanang Indra Kurniawan

2022 | Skripsi | S1 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Pada Agustus 2019, Gubernur Edy Rahmayadi berinisiatif untuk menerapkan pariwisata halal di Danau Toba. Menurut Edy, wisata halal dapat menjadi sebuah opsi untuk meningkatkan kunjungan wisata Danau Toba. Wacana ini jelas ditentang oleh masyarakat Batak di Sumatera Utara. Bagi mereka, penerapan wisata halal di Danau Toba seolah-olah menafsirkan Danau Toba sebagai objek wisata yang tidak halal. Hal ini kemudian menimbulkan polemik identitas yang cukup sensitif. Penulis memilih Kota Parapat yang terletak di pesisir timur Danau Toba sebagai lokasi penelitian. Penelitian ini kemudian akan mencoba melihat kontestasi identitas agama antara masyarakat Batak dengan Gubernur Edy selaku pencetus ide wisata halal itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggunakan empat konsep teori, yaitu politik identitas oleh Buchari; instrumentasi wisata halal dari berbagai sumber; standar baku wisata halal menurut Peraturan Gubernur NTB no. 51 tahun 2015; serta kontestasi identitas oleh Hasse Jubba. Buchari menjelaskan bahwa politik identitas adalah alat perjuangan politik. Instrumen wisata halal menjelaskan definisi dan kriteria wisata halal dari berbagai penulis, baik dalam negeri maupun mancanegara. Sedangkan standar baku wisata halal menjelaskan kriteria baku wisata halal dengan mengacu pada satu produk hukum yaitu Peraturan Gubernur NTB no. 51 tahun 2015. Terakhir, Hasse Jubba menjelaskan bahwa kontestasi identitas agama sering terjadi di daerah di mana komposisi penduduknya relatif seimbang, khususnya antara Muslim dan non-Muslim. Kajian ini disusun menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kegiatan wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri atas berikut: pengelola wisata, wisatawan, perwakilan himpunan wisata, dan pemerintah desa. Penulis juga melakukan observasi di Kota Parapat untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang kondisi Kota Wisata Parapat dan juga Danau Toba, apakah sudah cukup ramah terhadap wisatawan Muslim atau belum. Penulis menggunakan analisis deskriptif dengan berfokus pada interaksi langsung penulis dengan informan dan kondisis sosial Kota Parapat. Berdasarkan temuan peneliti, Kota Wisata Parapat adalah kota yang cukup plural namun pemeluk agama Kristen adalah mayoritas dengan persentase 60-70%. Namun begitu, Kota Parapat sudah cukup ramah terhadap wisatawan Muslim. Adanya Masjid Raya Taqwa dan tersebarnya rumah makan halal dapat menyediakan kenyamanan bagi wisatawan Muslim. Masyarakat Batak memang menolak konsep wisata halal, namun secara implisit mereka telah menerima unsur-unsur ramah Muslim, seperti keberadaan rumah makan halal, tempat ibadah, lingkungan bersih, dan sebagainya. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh dorongan ekonomi, di mana semakin banyak wisatawan Muslim yang datang, maka semakin sejahtera kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi maupun budaya.

In August 2019, Governor Edy Rahmayadi took the initiative to implement halal tourism in Lake Toba. According to Edy, halal tourism can be an option to increase tourist visits to Lake Toba. This discourse is clearly opposed by the Batak community in North Sumatra. For them, the implementation of halal tourism in Lake Toba seems to interpret Lake Toba as a tourist attraction that is not halal. This then raises a polemic of identity which is quite sensitive. The author chose Parapat City which is located on the east coast of Lake Toba as the research location. This research will then try to look at the contestation of religious identity between the Batak people and Governor Edy as the originator of the idea of halal tourism itself. In this paper, the author tries to use four theoretical concepts, namely identity politics by Buchari; halal tourism instrumentation from various sources; standard of halal tourism according to the Regulation of the Governor of NTB no. 51 of 2015; and identity contestation by Hasse Jubba. Buchari explained that identity politics is a tool of political struggle. Halal tourism instruments explain the definitions and criteria of halal tourism from various authors, both domestic and foreign. While the halal tourism standards explain the standard criteria for halal tourism by referring to one legal product, namely the NTB Governor Regulation no. 51 of 2015. Finally, Hasse Jubba explained that the contestation of religious identity often occurs in areas where the composition of the population is relatively balanced, especially between Muslims and non-Muslims. This study was prepared using a qualitative method with a case study approach. The data is divided into two categories, namely: primary data and secondary data. Primary data was obtained from interviews with several sources consisting of the following: tourism managers, tourists, representatives of tourism associations, and village governments. The author also made observations in Parapat City to get a clearer picture of the condition of Parapat Tourism City and Lake Toba, whether they are friendly enough to Muslim tourists or not. The author uses a descriptive analysis by focusing on the direct interaction of the author with informants and the social conditions of Parapat City. Based on the research findings, Parapat Tourism City is a quite plural city but Christians are the majority with a percentage of 60-70%. However, Parapat City is already quite friendly to Muslim tourists. The existence of the Taqwa Grand Mosque and the spread of halal restaurants can provide comfort for Muslim tourists. The Batak people indeed reject the concept of halal tourism, but implicitly they have accepted Muslim-friendly elements, such as the existence of halal restaurants, places of worship, clean environments, and so on. This is certainly influenced by economic incentives, where the more Muslim tourists who come, the more prosperous people's lives, both in terms of economy and culture.

Kata Kunci : Politik Identitas, Wisata Halal, Kontestasi Identitas