Laporkan Masalah

PULAU KAMPAI: PELABUHAN DI SELAT MALAKA DALAM PELAYARAN DAN PERNIAGAAN PADA ABAD XI - XVI M

ERY SOEDEWO, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. & Dr. Widya Nayati, M.A.

2020 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Pelayaran dan perniagaan adalah dua hal yang mengemuka ketika membahas perkembangan budaya Nusantara. Setidaknya terdapat tiga kerajaan di Nusnatara yang tumbuh dan besar lewat pelayaran dan perniagaan yakni Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Selain ketiga kerajaan itu, di Nusantara terdapat tempat-tempat lain yang muncul dan berkembang sebagai dampak dari pelayaran dan perniagaan, salah satunya adalah Pulau Kampai. Kajian-kajian terdahulu terdahulu tentang perkembangan berbagai kerajaan di Nusantara acapkali dikaitkan dengan ketersediaan dan permintaan terhadap komoditas alam yang disediakan di pelabuhan-pelabuhan niaga. Melalui kajian ini diungkap faktor lain yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan suatu pelabuhan dalam pelayaran dan perniagaan. Paradigma evolusionisme digunakan dalam kajian ini untuk melihat proses perubahan permukiman Pulau Kampai sebagai dampak dari pelayaran dan perniagaan internasional. Penggunaan paradigma evolusionisme dalam kajian ini, disebabkan oleh rentang masa panjang perjalanan sejarah Pulau Kampai sebagai suatu permukiman. Melalui pendekatan ini diketahui keterkaitan antara lingkungan fisik permukiman Pulau Kampai dengan para pemukimnya. Pengungkapan keterkaitan manusia dan lingkungan fisiknya memberi pemahaman cara manusia dalam beradaptasi. Tujuan kajian ini adalah menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi arti penting Pulau Kampai bagi pelayaran dan perniagaan di kawasan Selat Malaka pada abad ke-11 M hingga ke-16 M. Pada awalnya, Pulau Kampai dihuni oleh pemukim yang hanya mengeksploitasi lingkungan fisik pulau dan kawasan sekitarnya. Namun, pada abad ke-11 M, terjadi lompatan kebudayaan dengan hadirnya teknologi baru yang dibawa oleh para pendatang dari luar Nusantara, yakni teknologi pembuatan manik-manik kaca. Para pendatang dari India itu menggunakan bahan baku yang diimpor dari Asia Barat untuk produksi manik-manik kaca. Arti penting Pulau Kampai dalam pelayaran dan perniagaan di Selat Malaka adalah sebagai pelabuhan industri, artinya pelabuhan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlabuh bagi moda transportasi air saja, namun juga sebagai tempat diproduksinya manik-manik kaca dan mutiara. Keberadaan pengolahan mutiara di Pulau Kampai adalahlah hal yang wajar, mengingat pulau ini dikelilingi oleh perairan yang menjadi habitat hidup jenis tiram Placuna placenta yang menghasilkan mutiara. Namun, tidak demikian halnya dengan produksi manik-manik kaca di Pulau Kampai yang tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku berupa pasir kuarsa. Kendala ketiadaan bahan baku diatasi oleh para perajin manik-manik kaca dengan memanfaatkan limbah kaca yang dibawa dari kawasan Asia Barat lewat saluran pelayaran dan perniagaan.

The discussion of Nusantara cultural development should inevitably include sailing and trade. There were minimally three kingdoms of Nusantara that gained their glory through sailing and trade, Sriwijaya, Majapahit, and Malaka. Kampai island was another place that came into existence and flourished due to sailing and trade. Earlier studies on the developments of Nusantara kingdoms were often connected to the availability and demand of natural commodities in trade ports of those kingdoms. This study unveiled another factor underlying the growth and development of a port in sailing and trade. The evolutionism paradigm was used in this research to observe the developmental process of the settlements in Kampai island as a result of international sailing and trade. Such paradigm was used due to the long history of Kampai island as a settlement. This approach should then reveal the relationship between Kampai island physical settlement and its settlers. The unveiled truth of the relationship of men and their physical environemt should provide understanding of how they adapt. This study aims to reveal the underlying factors of the importance of Kampai island for sailing and trade in Malacca strait at the 11th to 16th CE. The early inhabitants of Kampai island had used to exploit the island physical environment and its surrounding areas, until the 11th century BCE when a leap of culture took place with the presence of the new technology of glass beads making, brought along by newcomers outside of Nusantara. These newcomers from India used West Asian-imported materials to produce glass beads. Kampai island significantly in sailing and trading was as an industrial port in Malacca Strait. This means that this port was both as an anchorage of water transportation mode and the production center of pearls and glass beads. Kampai island was a natural pearl production centre thanks to its waters as the habitat of placuna placenta oysters that produced pearls. On the other hand, the production of glass beads making was not supported by the natural availability of quartz sand. To solve this, glass bead makers imported glass waste from West Asia transported through the sailing and trade route.

Kata Kunci : Industrial port, Commerce Archaeology, Malacca Strait, 11th to 16th CE, Kampai Island, North Sumatera, Indonesia

  1. S3-2020-370550-abstract.pdf.pdf  
  2. S3-2020-370550-bibliography.pdf.pdf  
  3. S3-2020-370550-tableofcontent.pdf.pdf  
  4. S3-2020-370550-title.pdf.pdf