Transformasi Budaya Berkuda di Kasultanan Yogyakarta pada Akhir Abad XIX: Kajian Arkeologi Kesejarahan terhadap Toponimi Balapan
Yustina Dwi Stefanie, Adieyatna Faji, S.S., M.A.
2020 | Skripsi | S1 ARKEOLOGIPenelitian ini membahas mengenai transformasi budaya berkuda di Kesultanan Yogyakarta melalui keberadaan toponimi Balapan. Balapan merupakan nama kampung yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Klitren. Kampung Balapan adalah arena pacuan kuda yang muncul pada akhir abad XIX. Budaya pacuan kuda tidak murni berasal dari masyarakat tradisional Jawa, tetapi berkembang sebagai hasil interaksi budaya dengan budaya Eropa. Kegiatan ini memiliki karakteristik budaya Eropa. Sementara keterampilan dan pengetahuan tentang kuda dan berkuda yang sebelumnya dikenal di Kesultanan Yogyakarta, difokuskan pada teknik militer. Kontak dengan budaya Eropa mengubah fungsi berkuda menjadi kegiatan rekreasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pentingnya kuda dan budaya berkuda baik secara praktis maupun simbolik di Kesultanan Yogyakarta dan penyebab terjadinya transformasi pada akhir abad XIX. Penelitian ini dilakukan dengan metode sebagai berikut: proses pengumpulan data meliputi data artifaktual, data historis, dan informasi terkait yang dikumpulkan dari wawancara. Data tersebut dianalisis berdasarkan karakteristik masing-masing bentuk kegiatan berkuda, yang menunjukkan tiga transformasi teknis yang berbeda, yaitu: (1) karakteristik kegiatan, (2) cara bermain dan (3) karakteristik perlengkapan berkuda. Studi ini berpendapat bahwa transformasi budaya berkuda sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan ekonomi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII yang menunjukkan interaksi yang meningkat antara Kolonial Eropa dan masyarakat Jawa. Adopsi gaya hidup Eropa, termasuk kompetisi pacuan kuda oleh bangsawan Jawa adalah contohnya.
This research discusses the transformation of horse riding culture in Yogyakarta Sultanate through the existence of Balapan toponymy. Balapan is a village in administrative area of the Klitren district. Balapan village was a horse racetrack that emerged at the end of the XIX century. Horse racing culture is not purely originated from traditional Javanese society, but developed as a result of cultural interactions with European culture. This activity brings European cultural characteristic. While skills and konwledge of horses and horse riding previously known in Yogyakarta Sultanate, focussed on military technique. The contact with European culture transformed the function of horse ridiing to recreational activities. This study aims to explain the importance of horse and horse riding culture both in practical and symbolic terms in Yogyakarta Sultanate and the cause of it�s transformation in the late nineteenth century. The research has been done in the following methods: the data collection process includes artifactual data, historical data, and relatable information gathered from interview. These data were analyzed base on the characteristics of each form of horse riding activities, which show three different technical transformation, namely: (1) the characteristics of the activity, (2) the playing method and (3) the characteristics of the horse riding equipments. This study argues that the transformation of horse riding culture was heavily influenced by political and economic circumstances during the reign of Sultan Hamengku Buwono VII which shows an increasing interaction between European colonist and Javanese society. The adoption of European lifestyle, including the horse racing competition, by the Javanese aristocrats is a case in point.
Kata Kunci : Kuda, berkuda, politik, Kasultanan Yogyakarta