Laporkan Masalah

Relasi antara Agama Kristen dan Kolonialisme dalam Tiga Karya Sastra Poskolonial Afrika

TATANG ISKARNA, Prof. Dr. Faruk, S.U.; Prof. Dr. Juliasih, S.U.

2018 | Disertasi | S3 Ilmu-ilmu Humaniora

Penelitian ini bertjuan untuk mendeskripsikan bagaimana sastrawan Afrika mengkonstruksi agama Kristen dan kolonialisme dan bentuk-bentuk relasinya pada awal abad ke-20 yang disajikan dalam tiga teks sastra poskolonial Afrika, yaitu Arrow of God (1964) karya Chinua Achebe dari Nigeria, The River Between (1965) karya Ngugi wa Thiongo dari Kenya, dan Song of Lawino (1966) karya Okot p'Bitek dari Uganda. Teori-teori yang digunakan dalam mengkaji konstruksi ini adalah teori yang digagas oleh Frantz Fanon (1963, 1967), Aime Caesaire (1972), Albert Memmi (1965), Edward Said (1979), dan Homi Bhabha (1994). Sedangkan teori relasi antara agama Kristen dan kolonialisme yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Louis Pierre Althusser (1970), Ania Loomba (2005), David Hilliard (1970), Etim E. Okon (2014), serta R.S. Surghitarajah (2004). Temuan-temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Agama Kristen secara umum dikonstruksikan penganutnya sebagai agama yang orientalis, dalam arti agama yang dipandang dari perspektif oposisi biner lebih superior dari pada sistem kepercayaan lokal Afrika (Said, 1979). Namun demikian, ada temuan bahwa dalam teks-teks ini pengarang mengonstruksi agama Kristen di satu sisi sebagai agama yang misioner dan destruktif terhadap budaya lokal dan di sisi lain sebagai agama yang berdaya guna untuk menyelesaikan persoalan lokal masyarakat terjajah. Sementara itu kolonialisme digambarkan dalam bentuk relasi dominasi antara dua masyarakat yang tidak setara (Fanon, 1963, 1967; Memmi, 1965; Caesaire, 1972; dan Said, 1979), relasi konfrontatif (Fanon, 1963 dan Memmi, 1965), dan relasi hibrid yang mendekonstruksi relasi oposisi biner dan melahirkan produk mimikri, yaitu identitas masyarakat terjajah rekaan dan didikan penjajah Barat sebagai pembeda yang tidak akan pernah sama dengan Barat sekaligus bisa menjadi ancaman yang dapat melawan penguasa kolonial (Bhabha, 1994). Namun demikian, ada temuan yang menarik dalam penelitian ini yang terkait dengan identitas masyarakat terjajah yang berinteraksi dengan penjajah. Dalam tiga teks ini ditemukan kelompok masyarakat terjajah yang secara esensi teologis mengadopsi agama Kristen dengan tulus karena nilai-nilai keutamaan agama tersebut tanpa harus terkait dengan keberpihakan dengan kaum kolonial. Selain itu, ada kelompok masyarakat yang memanfaatkan agama Kristen sebagai akses ekonomi dan kekuasaan tanpa harus menjadi ancaman penguasa kolonial dan memikirkan ketidakmampuannya secara esensi menjadi sama dengan masyarakat Barat. Terkait dengan relasi antara agama Kristen dan kolonialisme, ada temuan bahwa agama Kristen dan kolonialisme memiliki relasi mutualistik. Agama Kristen dipakai sebagai aparatus ideologi untuk menciptakan mitos, doktrin, dan cara berpikir masyarakat terjajah agar tunduk kepada kaum kolonial (Loomba, 2005; Althusser, 2001; Sugirtharajah, 2004; dan Ashcroft, 2007). Kolonialisme juga menjadi elemen pendukung agama Kristen dengan menyediakan keamanan, infrastruktur, dan dana bagi penyebaran agama Kristen (Hilliard, 1970 dan Okon, 2014). Namun demikian, dalam ketiga teks ini terungkap bahwa agama Kristen juga dapat ditafsir oleh masyarakat lokal terjajah sebagai agama yang dapat membebaskan dari ketertindasan dan dominasi kolonial. Tafsir lokal terhadap agama Kristen yang dilakukan oleh kaum terjajah menjadi titik tolak kesadaran akan penindasan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Demikian juga perilaku opresif para penguasa kolonial dan para pendukungnya menjadi ganjalan bagi para masyarakat terjajah untuk dapat mengadopsi agama ini karena agama ini diidentikkan dengan masyarakat kolonial Barat. Dalam perspektif poskolonial, ketiga karya ini menyajikan wacana perlawanan terhadap hegemoni kolonial Barat. Wacana yang berpusat pada lokalitas menjadi ciri kuat ketiga karya sastra ini. Kolonialisme tidak dipandang sebagai proyek pemberadaban tetapi penindasan, eksploitasi, dan rasisme. Namun demikian, narasi ambivalen masih mewarnai teks-teks sastra ini. Pengarang tidak memaknai perjumpaan dua budaya ini sebagai sesuatu yang harus dihindari atau dilawan. Produk-produk identitas hibrid dan mimikri di satu sisi melakukan perlawanan, tetapi di sisi lain mereka juga menghidupi dan menikmati budaya baru. Kompleksitas persoalan masyarakat terjajah ternyata tidak hanya disebabkan oleh relasi kolonial tetapi juga persoalan lokal yang penyelesainnya dilakukan dengan menggunakan budaya baru dan dalam perspektif Kristen. Narasi perlawanan terhadap wacana kolonial Barat sebagian masih berada dalam ketertundukan akan hegemoni kolonial Barat.

This research is aimed at describing how African novelists and poet construct Christianity and colonialism and their relation in the beginning of the twentieth century in Nigeria, Kenya, dan Uganda presented in Chinua Achebe's Arrow of God (1964), Ngugi wa Thiong'o's The River Between (1965) and Okot p'Bitek's Song of Lawino (1966). The theories used to study how Christianity and colonialism are constructed are the ones proposed by Frantz Fanon (1963, 1967), Aime Cesaire (1972), Albert Memmi (1965), Edward Said (1979), and Homi Bhabha (1994). While the theories used to examine the relation between Christianity and colonialism are the ones stated by Louis Pierre Althusser (1970), David Hilliard (1970), Etim E. Okon (2014), and R.S. Surghitarajah (2004). The findings of the research are as follows. Christianity is constructed negatively as the religion containing the ideology of orientalism (Said, 1979). However, the three writers of the literary texts also described Christianity on the one hand as missionary and destructive religion which is able to vanish the local tradition, and on the other hand it is constructed as the religion which solves the problems of the colonized local society. Colonialism in thess three texts is described through the hegemonic (Fanon, 1963, 1967; Memmi, 1965; Caesaire, 1972; dan Said, 1979), subversive (Fanon, 1963 dan Memmi, 1965), and hybrid relation (Bhabha, 1994) resulting in mimicry identity, a group of society created by the colonial authority to maintain the essensial difference between the colonized and the colonizer and as well as a menace who can fight against the colonial. However, the other finding is that the interaction between the two cultures result in a group of society who receive and adopt Christianity sincerely because of the essential and theological values without relating to the colonial project. There is also a group of society who use Christianity as an access tool to the economic and power interest and who will not resist the colonial power. This society will not concern the equal relation of the colonized and colonizer as an important matter. The other finding is that Christianity and colonialism shares mutualistic relation. This religion is used as an ideological apparatus by the white European colinizers to create myths, doctrines, and ways of thinking amongst the Africans in order that they submit to the colonial power. Christianity is interpreted in such a way that it can be used as normative strategy to conquer the Africans (Loomba, 2005; Althusser, 2001; Sugirtharajah, 2004; dan Ashcroft, 2007). Colonialism becomes the vital element for the spreading of Christianity as the colonizers supports the missionaries with infrastructure, security, and funding. (Hilliard, 1970 dan Okon, 2014). However, the local hermeneutic of the Christianity becomes the starting point of being aware of oppression and opposing against colonialism. The oppressive behaviour of the colonialists prevents the local colonized people to accept and adopt Christianity. These three literary works present counter-discourse narrative against the Western colonial discourse. They show locally-centered narrative. Colonialism is not supposed to be the mission of civilizing the barbaric, but they are meant to be an act of racial discriminating the African, exploiting the sources, and vanishing of the local culture. However, the ambivalent narratives still pervades the texts. Christianity and colonial culture are not totally rejected. The description of the hybrid identity and mimicry shows this ambivalence. On the one hand they adopt Christianity and Western culture to resist the colonial power. On the other hand, however, they practice the new culture and religion as their new way of life and access to social and economic benefit. Their counter-discourse narrative are still under the colonial hegemony.

Kata Kunci : Agama Kristen, Kolonialisme, Poskolonialisme, Sastra Poskolonial, Aparatus Ideologi, Orientalisme, Hibriditas, Mimikri, Wacana Kontra Naratif

  1. S3-2018-338073-abstract.pdf  
  2. S3-2018-338073-bibliography.pdf  
  3. S3-2018-338073-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2018-338073-title.pdf