Laporkan Masalah

TINDAKAN WHISTLEBLOWING: Dilematika dan Tantangan Etika dalam Organisasi

ILHAM NURHIDAYAT, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP; Prof. Dr. Edward O.S Hiariej, S.H, M.Hum; Dr. Bevaola Kusumasari, M.Si

2017 | Disertasi | S3 Ilmu Administrasi Publik

Studi ini mengkaji tentang dinamika atas fenomena perilaku pengungkapan (whistleblowing behaviour) yang terjadi pada lima kasus di Indonesia dengan menitikberatkan pada tiga pokok kajian. Pertama, analisis atas intensi dan rasionalisasi yang mendorong orang internal organisasi (insider) berani bersuara (voice) dan menjadi whistleblower dengan segala risiko yang melekat (inherent risk) pada tindakan whistleblowing tersebut. Kedua, analisis atas skema dan mekanisme pengungkapan dan pemilihan saluran (media) pelaporan yang digunakan para whistleblower. Ketiga, analisis mengenai dinamika relasi kuasa dan interaksi para aktor yang muncul di dalam organisasi ketika ada orang dalam (insider) melakukan tindakan whistleblowing. Titik tekan penelitian pada tiga isu tersebut mengeksplorasi empat aspek penting yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pertama, aspek perilaku atau aktivitas yaitu tindakan whistleblowing. Kedua, aspek subjek yaitu orang dalam (insider) atau mantan anggota suatu organisasi yang menjadi whistleblower. Ketiga, aspek objek yang dilaporkan yaitu tindakan korupsi organisasional, wrongdoing dan kecurangan lainnya. Keempat, aspek kontekstual yaitu kasus yang terjadi di Indonesia. Riset dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan metode multi case study yang memperlakukan setiap kasus dengan pendekatan unique case orientation (Patton, 2002). Data dan informasi utama digali langsung dari para pelaku tindakan whistleblowing. Pengujian kredibilitas atau keabsahan data dilakukan dengan model triangulasi yang dimaknai sebagai cara pengecekan data dari berbagai sumber (triangulasi sumber) dan mengunakan berbagai teknik (triangulasi teknik). Penelitian ini menemukan beberapa hal penting. Pertama, adanya fakta bahwa tindakan atau perilaku whistleblowing pada kelima kasus bersifat sporadis dan dilakukan secara perorangan (individual action). Keberanian menyuarakan kebenaran dan melawan praktik tidak sehat menjadi prinsip hidup sebagian besar whistleblower. Karakter sifat keberanian ini dikenal dengan istilah Parrhesia. Keberanian para whistleblower membongkar adanya korupsi, kecurangan atau praktik tidak sehat juga ditentukan oleh filsafat moral atau ideologi etis (Forsyth, 1980) yang dimilikinya. Para whistleblower (kecuali Vincent) termasuk individu yang memiliki ideologi etis dengan kategori Idealis-Absolutis. Adapun Vincent termasuk dalam kategori Idealis-Situasionis. Mengacu pada teori Loyalitas Organisasional yang dikemukakan Hirschman (1970), keputusan para whistleblower adalah sebuah pilihan dalam bentuk voice atas kondisi internal organisasinya. Rasionalisasi keputusan para whistleblower dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Selain faktor eksternal, dorongan motivasi dan keinginan kuat yang bersumber dari dalam diri individu merupakan faktor yang sangat penting. Keinginan tersebut dinamakan dengan istilah niat (intention) dalam perspektif theory of planned behaviour (TPB). Pemicu terkuat dalam pembentukan niat tindakan whistleblowing pada kelima kasus dalam riset ini adalah sikap (attitude). Attitude dipengaruhi oleh behavioral belief yang dibawa atau dimiliki para whistleblower dan terbentuk dari beberapa faktor seperti misalnya sifat atau karakter bawaan (integritas diri, kepercayaan diri, profesionalitas dan passion terhadap pekerjaan); demografi (agama, pendidikan, gender dan status sosial); maupun informasi yang diterimanya (dari pengalaman hidup maupun paparan media). Temuan kedua, para whistleblower memilih saluran whistleblowing eksternal untuk melaporkan wrongdoing dan berbagai kecurangan lainnya. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, iklim etika yang tidak kodusif. Kedua, ketidaksiapan organisasi dalam hal sistem, kultur dan kelembagaan ketika tiba-tiba terjadi tindakan whistleblowing. Ketiga, oknum pelaku kecurangan (wrongdoers) atau pihak yang terlibat dalam kasus yang dilaporkan adalah para pejabat penting atau orang yang memiliki kedudukan strategis di tempat para whistleblower bekerja. Keempat, whistleblower tidak meyakini bahwa mekanisme pelaporan internal mampu mengatasi kasus yang terjadi. Kelima, tidak adanya jaminan perlindungan hukum dan keselamatan baik dari organisasi maupun pemerintah. Temuan ketiga, terjadi beberapa bentuk konflik nilai (clash of value). Konflik nilai yang pertama adalah pertaruhan (dilema) antara integritas diri versus loyalitas terhadap organisasi. Konflik nilai yang kedua adalah pertaruhan (dilema) integritas diri versus integritas sebagai anggota masyarakat. Konflik nilai ketiga adalah pertaruhan (dilema) antara loyalitas sebagai anggota organisasi versus integritas sebagai anggota masyarakat. Selain itu interaksi yang terjadi akibat adanya relasi kuasa (power) antara whistleblower dan wrongdoers adalah dalam bentuk konflik (pertikaian atau pertentangan) dan aksi riil yang dilakukan adalah pembalasan atau perlawanan balik (retaliation). Dalam konteks relasi antara whistleblower dan kolega organisasi ditemukan bentuk relasi yang lebih kompleks. Bentuk interaksi yang paling menonjol terjadi adalah resistensi dan perlawanan balik (retaliation) dari para pihak yang kontra dengan sepak terjang yang dilakukan para whistleblower. Temuan lainnya adalah terjadinya ambivalensi sikap organisasi secara kolektif dalam memposisikan keberadaan whistleblower. Fakta menunjukan bahwa keberadaan whistleblower di dalam organisasi tidak mutlak dianggap sebagai seorang pengkhianat oleh anggota organisasi lainnya atau sebaliknya juga tidak pula secara mutlak dianggap sebagai seorang pahlawan. Posisi whistleblower diibaratkan seperti orang yang dibenci tapi sekaligus dibutuhkan pada waktu dan tempat yang sama.Selain itu, hasil penelitian ini menawarkan beberapa aspek dan elemen kunci yang perlu diperhatikan dan dipenuhi dalam rangka membangun dan mengembangkan whistleblowing system (WBS) yang lebih efektif, sistematis serta memberikan jaminan rasa aman serta menghilangkan beberapa dilema integritas, meliputi: aspek manusia dan budaya etis, aspek kebijakan, aspek perlindungan hukum, aspek struktur organisasi, dan aspek proses dan prosedur.

This research studies the dynamics on whistleblowing behaviour phenomenon in five cases in Indonesia focusing on three main points, namely: First, an analysis on the intention and rationalisation which drove an insider to voice and become whistleblower and at the same time bear all the inherent risks corresponding to the action; second, an analysis on the scheme and mechanism of whistleblowing and the selection of media used; and, third, an analysis on the dynamics between power relation and actor interaction in the organisation provided that there was an insider conducting whistleblowing act. The emphasis of this study on those three focal points explores four important and interconnected aspects which are inseparable, namely: First, behaviour or activity aspect, i.e. whistleblowing act; second, subject aspect: i.e. the insider or former member of an organisation who became the whistleblower; third, object aspect, i.e the object reported such as organizational corruption, wrongdoings, and other fraudulence; and fourth, contextual aspect, i.e. the cases taking place in Indonesia. The research used qualitative approach and employed multi case study method which treated each of the cases with unique case orientation approach (Patton, 2002). The primary data and information were collected directly from the actors of whistleblowing. Furthermore, the data credibility and validity testing used triangulation model which was defined as a measure to investigate data from various sources (source triangulation) and to use various techniques (technique triangulation). This research revealed a number of important deliverables. The first one was the fact showing that all the whistleblowing acts or behaviours in the five cases were sporadic in nature and of individual action. The bravery in sounding the truth and standing against unhealthy practices was the principle of life of most of the whistleblowers. This character is known as Parrhesia. The bravery of those whistleblowers to disclose the corruptions, fraudulence, and all unhealthy practices was also determined by morality philosophy or ethic ideology (Forsyth, 1980) in them. Most of the whistleblowers (except Vincent) were the individuals owning ethic ideology in the category of Idealist-Absolutist. Meanwhile, Vincent was included in the category of Situationist. Referring to the theory of Organisational Loyalty presented by Hirschman (1970), the decision of a whistleblower is an option in form of voice against the internal condition in his/her organisation. The rationalisation of a whistleblower's decision is influenced by both external and internal factors. In addition to external factors, the strong motivation and desire rooting in the individual is the critically important factor. The desire is called intention in the theory of planned behaviour (TPB) perspective. The strongest trigger in the intention to exercise the whistleblowing act in the five cases investigated by this research was attitude. Attitude is influenced by behavioral belief brought in or owned by the whistleblower which is formed by several factors, such as innate character (self-integrity, self-confidence, professionalism, and passion toward work); demography (religion, education, gender, and social status); and achieved information (from either life experience or media exposure). The second finding was that the whistleblowers chose the external channel of whistleblowing to report the wrongdoings and other fraudulence. This was based on a number of considerations, those were: First, the unconducive climate of ethics; second, unpreparedness of the organisation in terms of system, culture, and institutionalisation when whistleblowing taking place suddenly; third, the wrongdoers or the involved parties were reported by the important officials or ones with the strategic position in the workplace of the whistleblowers; fourth, the whistleblowers were unconvinced that the internal reporting mechanism could handle the case; and five, no guarantee of legal and safety protection from both organisation and government. The third finding was there were some clashes of values. The first conflict of values was a dilemma between self-integrity and loyalty to the organisation. The second clash of values was a dilemma between self-integrity and the integrity as a member of the community. And, the third one was a dilemma between loyalty as a member of an organisation and the integrity as a member of the community. Besides, the interaction created by the relation of power between whistleblowers and wrongdoers was in form of conflict (dispute or disagreement), and the real action conducted was retaliation or revenge. In the context of relation between whistleblowers and their organisation colleagues, there were more complex relation. One which stood out was a form of resistance and retaliation from those who contradicted with the acts done by the whistleblowers. Another finding was a collective behaviour ambivalence of the organisations in positioning the whistleblowers existence. The fact showed that the whistleblowers were not absolutely considered as traitors by the other members of the organisation, but they were also not regarded as heroes as well. The position of whistleblowers was likely to be a person who was disliked yet needed at the same time. In addition, the research findings offer several aspects and key elements which need to be pondered and met in order to build and develop a whistleblowing system (WBS) which is more effective, systematic, and safety guaranteeing, as well as reducing integrity dilemmas, involving some aspects related to human and ethical culture, policy, legal protection, organisational structure, and process and procedure.

Kata Kunci : dilema, ideologi etis, insider, tantangan etika, retaliation, resistensi, whistleblower, whistleblowing, whistleblowing system (WBS).

  1. S3-2017-356449-abstract.pdf  
  2. S3-2017-356449-bibliography.pdf  
  3. S3-2017-356449-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2017-356449-title.pdf