Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca-Orde Baru, 1998-2015: Analisis Ekonomi Politik
M. HUSNUL ABID, Dr.Phil. Ana Nadhya Abrar, M.E.S.; Drs. Budhy K. Zaman, M.Si.
2016 | Tesis | S2 Ilmu KomunikasiKejatuhan Orde Baru pada 1998, yang segera disusul oleh kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, mengubah lanskap politik Indonesia. Aktor politik lokal bermunculan d(eng)an memanfaatkan dan mengontrol semua sumber daya, termasuk media dan pers. Pada saat yang sama, Reformasi menyaksikan pertumbuhan pesat media lokal di tingkat provinsi di Indonesia. Di samping oleh pebisnis daerah, beberapa perusahaan media di Jakarta dan Surabaya juga membangun industri media lokal sebagai cabang usaha mereka. Kasus Jambi adalah contohnya. Kalau pada era Orde Baru hanya ada satu koran lokal di Jambi, sekarang jumlahnya lebih dari 20 koran. Sirkulasi koran-koran tersebut sangat rendah. Saat ini tiga tertinggi, secara berurutan, adalah Tribun Jambi (17.000 eksemplar), Jambi Independent (6.000), dan Jambi Ekspres (4.000). Koran-koran selain ketiganya hanya dicetak 200-1.000 eksemplar per hari. Tak diragukan bahwa koran-koran lokal di Jambi mampu bertahan karena anggaran yang disediakan oleh pemerintah daerah. Dana tersebut mengalir terutama dalam bentuk langganan dan iklan. Pemerintah daerah melanggan banyak sekali koran lokal. Satu kabupaten bisa membeli 25-100 eksemplar untuk satu koran setiap hari, sehingga keseluruhan sekitar 300-1.200 eksemplar koran dilanggan oleh seluruh pemerintah daerah di Jambi. Sementara itu, iklan-iklan pemerintah daerah memenuhi halaman-halaman koran lokal di Jambi. Untuk langganan dan iklan itu, sebuah pemerintah daerah (kabupaten/kota atau provinsi) menyediakan anggaran antara Rp. 4-15 miliar per tahun. Penghasilan dari dana pemerintah daerah bisa berkontribusi antara 40-80 persen dari keseluruhan pendapatan. Hubungan yang erat antara koran lokal dan pemerintah daerah membuat koran tidak bisa berlaku kritis. Mereka selalu merasa dalam keadaan terancam oleh hilangnya dana pemerintah daerah. Tentu saja bagi masyarakat keadaan itu merugikan. Mereka tidak mendapatkan informasi yang jujur menyangkut pemerintah mereka. Banyak sarjana melihat perkembangan luar biasa industri koran pasca-Orde Baru dipicu oleh perubahan Undang-Undang tentang Pers, terutama penghilangan syarat Surat Izin Usaha Penerbitan dan Pencetakan Pers (SIUPP). Ini benar untuk koran nasional, tetapi ada faktor lain terkait koran lokal. Walaupun tumbuh signifikan, kenyataannya koran nasional terus berjatuhan sejak 2006, sementara koran lokal tumbuh. Kasus Jambi membuktikan bahwa faktor otonomi daerah dan dinamika politik di tingkat lokal jelas menyumbang bagi pertumbuhan itu.
The fall of the New Order in 1998, which was soon followed by regional autonomy and decentralization policies, changed Indonesia�¢ï¿½ï¿½s political landscape. Local political actors emerged by utilizing and controling all local resources, including the media and press access. At the same time, the post-New Order era witnessed the unprecedented growth of local media in provincial Indonesia. In addition to local media businesses, various companies in Jakarta and Surabaya also established local media industries as their subsidiaries. In the New Order era, there was only one local newspaper in Jambi and now there are at least 20 local newspapers. Circulation of the newspapers are very small. Currently the three largest of printing, respectively, are Tribun Jambi (17,000 copies), Jambi Independent (6,000) and Jambi Ekspres (4,000). The others is only 200-500 copies. With a small printing and sales, how can the local newspapers in Jambi survive? No doubt the durability is caused by donations from the local (district and provincial) governments to the local newspapers. Donations primarily in two forms: subscriptions and advertising. Local governments subscribe to almost all newspapers published in Jambi: 25-100 newspapers per district; a total of about 300 to 1,200 copies purchased by local governments in Jambi. Meanwhile, the ads appear each day filing the pages of the newspapers. For the purposes of subscriptions and ads, district and provincial governments allocate a budget of IDR 4-15 billion a year. Donations from the local governments can contribute 40-80 percent of total newspaper revenues. Because of the close relationship between local newspapers and government, newspapers cannot criticize the governments. They are always overshadowed by the threat of termination of donations. The public does not get honest information about their government. Many researchers see the rapid growth of newspaper industry in post-New Order Indonesia because of the ratification of the press bill, importantly the Publishing and Printing Licensing (SIUPP) has been concluded. It is true for national newspapers, but there are other factors for local newspaper. Although the number of newspapers has risen significantly, in fact the number of national newspapers has continued to fall since 2006, while local newspapers have grown. Jambi case shows that the factor of regional autonomy and the political dynamics at the local level clearly contribute to this growth.
Kata Kunci : local newspaper, post-New Order Indonesia, decentralization, regional autonomy, Jambi