BUNUH DIRI: Sesat Penandaan Pulung Gantung di Gunungkidul
DRS I WAYAN SUWENA, M.HUM. , Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A. ; Dr.Setiadi, M.Si
2016 | Disertasi | S3 AntropologiPeristiwa bunuh diri yang terjadi susul-menyusul pada orang Gunungkidul masih bersifat misteri. Kemisteriusan tindakan bunuh diri di Gunungkidul dilegitimasi oleh mitos pulung gantung yang mengakar pada kepercayaan masyarakat. Peristiwa ini membuat masyarakat merasa prihatin dan waspada karena seringkali orang mengaitkan bunuh diri dengan pulung gantung. Untuk itu, penelitian ini bertujuan menjawab beberapa pertanya- an, yaitu (a) apa konteks budaya dari bunuh diri di Gunungkidul; (b) bagaimana pulung gantung menjadi wacana yang diekspresikan ke dalam tindakan bunuh diri pada orang Gunungkidul; dan (c) apa yang dirasakan dan terjadi pada orang Gunungkidul setelah ada yang melakukan bunuh diri, serta cara-cara yang ditempuh untuk memulihkan keadaan pasca kejadian bunuh diri. Penelitian ini berpijak pada perspektif hermeneutik dengan metode deskripsi men- dalam (thick description). Sesuai dengan perspektif tersebut, penelitian ini mengguna- kan teori interpretif Clifford Geertz dan teori simbol Raymond Firth. Selain itu, juga di- gunakan teori tafsir simbol Victor Turner, terutama untuk menganalisis simbol ritual. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan serangkaian metode pengumpulan data, antara lain pengamatan, wawancara mendalam, wawancara biasa, dan studi kepustakaan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis yang bersifat interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunuh diri yang terjadi pada orang Gunungkidul merupakan tindakan simbolik dari proses komunikasi. Pelaku bunuh diri sebetulnya mau berkomunikasi kepada orang yang hidup, tetapi tidak lagi mampu meng- akses bahasa atau media untuk mengatakan maksudnya sehingga melakukan bunuh diri. Namun, dalam hal ini orang-orang Gunungkidul lebih cenderung mengaitkan penyebab orang tersebut bunuh diri karena kena/ketiban pulung gantung ketika sedang mengalami pikiran-kosong. Padahal keberadaan pulung gantung itu sebagai gejala alam. Akan tetapi, dalam budaya Gunungkidul tanda alam itu diubah menjadi wacana mitis, yaitu menjadi bahasa atau cerita yang mempunyai referensi dan makna sehingga tidak merupakan tanda kosong. Dengan demikian, orang yang ingin gantung diri sebetulnya mengubah tanda alam menjadi tanda komunikasi atau wacana. Oleh karena itu, dia berkomunikasi atau ber- pikir. Hal ini sebagai bukti bahwa orang yang akan melakukan bunuh diri tidak mengalami pikiran-kosong. Tidak hanya itu, penceritaan pulung gantung pasca kejadian bunuh diri menimbulkan pandangan bawa orang tersebut bunuh diri bukan atas kehendak manu- siawinya, melainkan kena pulung gantung sehingga kondisi dan arah hadap wajahnya menjadi teror yang menebar ketakutan karena tindakan bunuh diri dipercayai bisa menular kepada orang lain. Hal ini menjadi alasannya untuk melaksanakan serangkai- an ritual, baik secara personal maupun kolektif agar suasana pasca peristiwa bunuh diri menjadi pulih kembali. Selain itu, fungsi pelaksanaan ritual ini juga sebagai media komunikasi untuk membangkitkan kerukunan dan persaudaraan, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Apabila bunuh diri diceritakan mitos pulung gantung dan dilaksanakan serangkaian ritual pasca bunuh diri maka penyebab bunuh diri itu ada di luar diri pelakunya sehingga kematiannya dipandang wajar. Oleh karena itu, bunuh diri menjadi biasa.
The incident of suicide that happened one after another among the people of Gunungkidul had been mysterious. The mysteriousness on the act of suicide among the Gunungkidul people was legitimized by the myth of pulung gantung that had been derived from the peoples belief. The incident triggered the concern and the caution among the people because most of the time the people in Gunungkidul associated the incident of suicide with the pulung gantung. Therefore, the study was conducted in order to answer the following questions: (a) what are the contexts of suicide in the Gunungkidul area; (b) how does the pulung gantung become a discourse that has been expressed in the act of suicide among the people of Gunungkidul; and (c) what do the people of Gunungkidul sense and do after the incident of suicide and what are the ways that the people take in recovering themselves after the incident of suicide. The study was based on the hermeneutic perspective with the thick description method. In accordance with the perspective, the researcher referred to the Clifford Geertz interpretative theory and the Raymond Firths symbol theory in the study. In addition, the researcher also referred to the Victor Turner�s symbol interpretation theory in the study especially for interpretating the ritual symbols.Furthermore, in the study the researchers referred to numerous data gathering methods namely: observation, in-depth interview, general interview and library study. The data that had been gathered then would be analyzed by means of interpretative analysis method. The results of the study showed that the act of suicide that occured among the people of Gunungkidul had been a symbolic action from the process of communication. The actors of suicide actually would like to communicate with the living people but they were not able to access the language or the medium to convey their intention; as a result, they committed suicide. However, in this case the people of Gunungkidul associated the act of suicide to the pulung gantung while the actors were having empty mind whereas pulung gantung existed as a part of natural phenomenon. In the culture of Gunungkidul area the natural phenomenon was transferred into a mythical discourse namely into a language or a story that had reference and meaning so that the natural phenomenon would not be a meaningless discourse anymore. Therefore, people who were about to commit the suicide actually transformed the natural phenomenon into the communicational sign or the discourse. In other words, these actors were thinking or were communicating. This was a solid evidence that the actors of suicide did not have an empty mind. Not only that, the dissemination of pulung gantung story after the incident of suicide triggered a view that the actors commit the suicide because they had been exposed to the pulung gantung and, as a result, the direction of the victims� face became a terror since the people of Gunungkidul believed that the act of suicide might be contageous to the other people based on the victims� position after having committed suicide. The belief had also been a reason why thepeople of Gunungkidul performed numerous rituals both personally and collectively in order to recover the situation after the incident of suicide. In addition, the function of performing these rituals was to serve as a communication medium for resurrecting the harmony and the fraternity both in the family life and in the community life. If the myth of pulung gantung had been spread in relation to the incident of suicide and the people of Gunungkidul performed numerous rituals after the incident then the cause of the suicide would be from the internal aspect of the victims life; as a result, their death was considered common. In other words, committing suicide would be common as well.
Kata Kunci : bunuh diri, pulung gantung, pikiran-kosong, dan ritual, suicide, pulung gantung, empty mind, and rituals.