GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA
AGUSTINUS WISNU DEWANTARA, Dr. Lasiyo, M.A., M.M ; Dr. Sri Soeprapto. M.S.
2016 | Disertasi | S3 Ilmu FilsafatGotong-Royong menurut Soekarno dalam Perspektif Aksiologi Max Scheler dan Sumbangannya bagi Nasionalisme Indonesia ini bertujuan untuk menemukan secara analitis makna objektif dari nilai gotong-royong Soekarno dalam perspektif aksiologi Max Scheler, dan merefleksikannya bagi penghayatan nasionalisme di Indonesia. Aksiologi dipilih sebagai objek formal karena yang hendak diteropong dalam penelitian ini adalah gotong-royong sebagai sebuah nilai khas Indonesia. Pembahasan tema ini diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini yang tampaknya hidup dalam krisis gotong-royong di berbagai bidang. Soekarno merangkum Pancasila dalam satu nilai, yaitu gotong-royong atau yang disebutnya sebagai Ekasila. Nilai gotong-royong sebagai intisari Pancasila ternyata menemukan tantangan besar dewasa ini. Keanekaragaman di berbagai bidang yang mewarnai bangsa Indonesia sebenarnya menjadi modal dan potensi yang luar biasa untuk kemajuan bersama, akan tetapi dewasa ini yang mengemuka justru berbagai fenomena kerusuhan dan konflik yang merongrong rasa nasionalisme Indonesia sebagai bangsa yang besar. Penelitian yang digunakan dalam disertasi ini ialah penelitian kualitatif bidang filsafat. Model penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan studi kepustakaan. Hermeneutika kemudian dipakai untuk mencari makna dalam penelitian ini. Unsur-unsur metodis yang dipakai dalam penelitian ini adalah: verstehen, analisis historis, analitika bahasa, dan heuristika. Pidato Soekarno secara khusus diteliti dengan mengikuti alur hermeneutika Dilthey. Hasil dari analisis hermeneutis Dilthey tersebut kemudian akan menjadi materi yang akan diteropong dari sudut pandang objektivisme aksiologis Max Scheler, supaya ditemukan sumbangannya bagi nasionalisme Indonesia. Makna gotong-royong Soekarno yang ditemukan pada penelitian ini yaitu bekerja bersama-sama, saling bantu, bahu-membahu, kerjasama, musyawarah untuk mufakat, dan saling menghargai sebagai bangsa. Nilai gotong-royong ternyata bukan hasil perasaan subjektif Soekarno. Gotong-royong sudah ada tanpa Soekarno berpidato, dan melekat pada pengembannya, yakni manusia Indonesia. Pancasila tidak diciptakan oleh Soekarno dan para pendiri negara. Soekarno, dalam bahasa Scheler, justru menemukan nilai-nilai Pancasila dan gotong-royong yang telah dihayati sekian lama di bumi Indonesia. Gotong-royong sebagai sebuah nilai, dalam alur pemikiran Scheler bersifat tetap dan objektif. Praktik gotong-royong nampak dalam ethos bersama. Gotong-royong dapat menjadi dasar nasionalisme Indonesia yang dibangun atas dasar kebersamaan justru dan bukan bersifat chauvinistis. Gotong-royong memiliki dimensi kemanusiaan yang justru dapat menjadi pengikat kebersamaan antarbangsa. Bangsa ini, dalam alur pikir Scheler, seharusnya meminati nilai gotong-royong lewat pendidikan kegotong-royongan, dan mewujudkan diri sebagai bangsa yang utama.
Mutual assistance by Sukarno in Perspective Axiology Max Scheler and Its contributions to Indonesian nationalism aims to find analytically the objective meaning of the principle of mutual assistance in the perspective of axiology, and reflect the appreciation of nationalism in Indonesia. Axiology selected as an object to be formal because this research focused on mutual assistance as a typical value of Indonesia. This theme is expected to contribute to the life of the Indonesian people today who seem to live in a crisis of mutual cooperation in various fields. Sukarno summarizes Pancasila in a single value, namely the "gotong-royong" (Indonesian mutual assistance) or he describes as Ekasila. The essence of Pancasila finds a great challenge today. Diversity in many areas that characterizes the Indonesian nation is actually an asset and a tremendous potential for progress together, but today that surfaced precisely various phenomena of violence and conflict that undermines a sense of Indonesian nationalism as a great nation. The research in this dissertation is a qualitative study philosophy. The research model used a qualitative research by conducting a literature study. Hermeneutics is then used to search for meaning in this study. Methodical elements used in this study are: verstehen, historical analysis, analytic language, and heuristics. Sukarno's speech will be studied by following the hermeneutics of Dilthey. The results of the analysis of Dilthey then will be the material that will discussed from the standpoint of axiological objectivism of Max Scheler, so that found its contribution to Indonesian nationalism. The meaning of mutual assistance Soekarno found in this research is to work together, help each other, shoulder to shoulder, cooperation, deliberation, and mutual respect as a nation. The mutual assistance was not the result of subjective feelings of Sukarno. The value of mutual assistance is exist without speech of Soekarno, and attached to Indonesian. Pancasila is not created by Sukarno or the founding fathers. Sukarno, in the language of Scheler, precisely found the values of Pancasila and mutual assistance that has lived a long time in the Earth Indonesia. Mutual assistance as a value, in this line of thought Scheler fixed and objective. The practice of mutual assistance appears in the shared ethos. Mutual assistance can be the basis of Indonesian nationalism to built togetherness and not be chauvinistic. The mutual assistance of Indonesia (gotong-royong) has a dimension of humanity that it can be a binder between all nations. Indonesia, in this line of thinking Scheler, supposedly interested in the principle of mutual assistance through education cooperativeness, and manifests himself as virtuous nation.
Kata Kunci : gotong-royong Soekarno, objektivisme aksiologis, nasionalisme