Laporkan Masalah

Tari Bedhaya Gendheng Karya Bagong Kussudiardja Sebagai Tari "Pembebasan" (Perubahan Simbol-Simbol pada Tari Bedhaya)

LUCKY KRYSNAWATI UTAMI, Andreas Soeroso, Drs., M.S.

2016 | Skripsi | S1 SOSIOLOGI

Tari Bedhaya merupakan tari jawa klasik yang di tarikan oleh 9 orang penari putri yang melambangkan kesempurnaan. Biasanya tari Bedhaya Klasik mengambil dari legenda yang mengandung nilai religius, sosial, kepahlawanan, pendidikan dan filosofis pada masa tertentu, seperti Bedhaya Sang Amurwabhumi yang mengambil dari komitmen antara Ken Arok dengan Ken Dedes. Seiring dengan berkembangnya waktu, Tari Bedhaya Klasik mengalami perubahan yang signifikan yaitu dari segi durasi yang berawal kurang lebih 2 jam disingkat menjadi menit sampai beralihnya fungsi tari Bedhaya sebagai hiburan. Di sisi lain, tari Bedhaya di olah oleh seniman kreasi yaitu Bagong Kussudiardja. Salah satu dari karyanya yaitu Bedhaya Gendheng. "Gendheng" dalam bahasa jawa yang berarti Edan atau Gila. Hal ini sesuai dengan situasi yang terjadi pada saat proses dibuatnya tari Bedhaya Gendheng adalah zaman edan. Sehubungan dengan hal diatas, permasalahan penelitian ini adalah memaknai simbol dari Tari Bedhaya Gendheng sebagai tari pembebasan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif agar dapat membahas secara detail. Bagaimana tari Bedhaya Gendheng diciptakan dan apa yang melatarbelakangi proses diciptakannya Bedhaya Gendheng, serta simbol yang terdapat pada Bedhaya Gendheng. Pada penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik yang diusung oleh George Herbert Mead. Secara garis besar teori insteraksionisme simbolik adalah salah satu pisau analisis yang menjelaskan bahwa gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain. Penelitian ini dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu di daerah Tamantirto Kasihan Bantul, RT 04 RW 21, Yogyakarta 55184, lebih tepatnya di Padhepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) dari Ndalem Pudjokusuman, tempat kediaman beberapa seniman tari serta Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Dari hasil lapangan diketahui bahwa masih tersimpannya beberapa arsip lama di Padhepokan Bagong kussudiardja seperti kliping, foto, dan kostum yang dulu digunakan oleh para penari. Hasil Penelitian ini bahwa tari Bedhaya Gendheng memang diciptakan untuk menggambarkan situasi kondisi yang terjadi saat kepemimpinan Soeharto yang saat itu akan lengser, dan kemudian dituangkan melalui penggambaran pola lantai dan gerakan yang sangat berbeda dengan Bedhaya Klasik pada umumnya. Karena Bedhaya Gendheng merupakan wujud protes terhadap suatu keadaan yang meresahkan, keadaan masyarakat yang edan dan gelisah. Hasil ini ditunjukkan dengan gerakan yang sudah melebihi batas tari Jawa Klasik, para penari yang dituntut melakukan gerakan tari dengan rasa tanpa menghiraukan gendhing dengan tempo yang beat. Tidak adanya unsur magis dan sakral dalam Tari Bedhaya Gendheng, namun sebuah penggambaran kondisi nyata di masyarakat.

Bedhaya Dance is a classical java dance which is performed by nine female dancers that symbolized a perfection. This dance usually came from the religious, social, epic, educating, and philosophical legends at a certain time just like Bedhaya Sang Amurwabhumi which taken from the commitment of Ken Arok and Ken Dedes. As the time goes by, the Classical Bedhaya Dance had a significant difference that is the duration time, from two hours to minutes until the transformation function of Bedhaya Dance as an entertainment. On the other hand, Bedhaya Dance was composed by creation artist Bagong Kusudiardja. One of his creation was Bedhaya Gendheng. "Gendheng" in javanese means mad or crazy. This is based on the situation happened in the proccess of making this dance which is crazy era. According to this case above, the problem of this research was getting the interpretation of the symbol from Bedhaya Gendheng Dance as a liberation dance. This research used the qualitative descriptive method so that it can describe in details. How is the Bedhaya Gendheng created, the backgrounds of making this dance, and symbols that found in the Bedhaya Gendheng. This research used the theory of symbolic interactionism by George Herbert Mead. The outline of this theory is one of the analytical method explaining that the movement is an action that was done by someone who had relation with other subject. This research was done in Special Region of Yogyakarta that is in the vicinity of Tamantirto Kasihan Bantul, RT 04 RW 21, Yogyakarta 55184, precisely in Padhepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yayasa Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) and Ndalem Pujokusuman, the residence of some of the dance artists and also Taman Budaya Yogyakarta (TBY). From the result of the field it is known that it is still stored some of the old archives in Padhepokan Bagong Kussudiardja like scrapbooks, photos, and costume formerly used by the dancers. The result of this research that Bedhaya Gendheng dance truly created to depict the situation of what happened in the reign of Soeharto when he would abdicate, and then depicted to the dance formation, and the movement that was different from Classical Bedhaya in general, because Bedhaya Gendheng was a protest form against a chaotic condition, the condition of the crazy and anxious masses. This result shown by the movement that was different from classical java dance, the dancers that was in charged to dance with harmony but without getting heed to the gamelan with fast tempo. Without the magical element and sacred in Bedhaya Gendheng Dance, but a depiction of the real condition in masses.

Kata Kunci : Bedhaya, Gendheng, Pemaknaan Simbol dalam Tari