Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Studi Kasus Pemerintahan Desa Sedadi, Kecamatan Penawangan, Kabu
M. KARIM AMRULLAH, Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H, M.A, M.Phil.
2016 | Skripsi | S1 ILMU HUKUMKewenangan desa saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, termasuk mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan diakuinya eksistensi desa termasuk penyelenggaraan pemerintahan desa melalui Undang-Undang Desa, diharapkan dapat menciptakan peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan yang lebih baik, kehidupan demokratis, percepatan pembagunan ekonomi, meningkatnya keamanan dan ketertiban, serta relasi yang harmonis antar-desa. Seiring berjalannya waktu, impelentasi dari kewenangan desa yang diberikan melalui undang-undang a quo berdampak negatif. Hal ini dikarenakan baik unsur pemerintahan desa maupun masyarakat desa kurang memahami, maupun terdapat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang a quo yang tidak sesuai dengan konsep penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan undang-undang a quo. Sebagai contoh, undang-undang a quo telah mengatur pendapatan bagi pemerintah desa bersumber dari APBN yang disalurkan melalui APBD, pada saat yang sama juga mengatur bahwa tanah desa yang merupakan aset desa tidak dapat dijadikan pendapatan bagi pemerintah desa. Namun demikian, Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 justru menyimpangi ketentuan tersebut. Begitu pula pendapatan tanah bengkok bagi pemerintah desa masih diterapkan di Desa Sedadi, di mana terdapat lahan pertanian milik kepala desa dan perangkat desa yang dianggap sebagai bondo deso. Hal tersebut telah lama diterapkan sejak sebelum keluarnya undang-undang a quo mendasari mengingat Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa masih mengakomodir hal tersebut sampai dengan saat ini. Dalam pelaksanaannya, hal tersebut yang merupakan bagian dari pengelolaan kekayaan dan aset desa dalam ranah pemerintahan desa, berdampak pada pelaksanaan kewenangan desa lainnya.
Village authority is currently regulated in Law Number 6 of 2014 concerning the Village, including the administration of the village. The recognition of the existence of the village including the administration of the village through the Village Act, is expected to create an increase in social welfare, better services, democratic life, the acceleration of economic development, increased security and order, and harmonious relations between village. But impelentation of village authority based on Village Act has negative impact. It is because both elements of the village administration and the villagers do not understand, and some legislation under the Village Act are inconsistent with the concept of village governance under the Village Act. For example, the Village Act has arranged for the village government revenue from the state budget that is channeled through the region budget, at the same time that agricultural land is an asset village can not be used as revenue for the village government. However, Article 100 of Government Regulation Number 45 of 2015 actually deviate the provision. Similarly, tanah bengkok revenue for the village government is still applied in Sedadi village, where there are agricultural land owned by the head of village and village officials which is considered as bondo deso. It has long been in place since before the release of the Village Act underlying considering Region of Grobogan Regulation Number 10 Year 2009 on the Financial Position of the Village Head and the Village still accommodate it. Not only that, tanah bengkok which a part of financial management and asset village in the realm of the village administration, has an impact on the implementation of the authority of the other villages.
Kata Kunci : Desa, Kewenangan Desa, Pemerintahan Desa.