DERADIKALISASI SEMU: STRATEGI DERUTINISASI PENANGANAN SAMPAH (ANALISIS STRUKTURASI DALAM ISU PENANGANAN SAMPAH DI KOTA BANDUNG OLEH WALIKOTA PERIODE 2013-2018
MUSTABSYIROTUL UMMAH, NUR AZIZAH, M.SC
2016 | Tesis | S2 Politik dan PemerintahanPenelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi Bandung sebagai lokus penelitian yang menghadapi persoalan sampah yang cukup krusial. Persoalan ini bertumpu ada aspek struktural terkait penanganan persampahan seperti ketiadaan TPA, jumlah timbulan yang tidak terkendali dan rendahnya kesadaran masyarakat atas kebersihan hingga sempat dijuluki sebagai the city of pig dan Bandung Lautan Sampah. Upaya menangani persoalan sampah sudah dicoba sejak Walikota lama dengan radikalisasi menubah cara pandang sampah sebagai sebuah sumber daya yang bernilai. Namun upaya radikalisasi ini mengalami jalan buntu dan malah menimbulkan konflik. Keberadaan Walikota baru yang memiliki struktur dukungan kuat dirasa mampu mengatasi persoalan semacam ini yang juga ditunjang dengan kapasitas pengetahuan yang dimiliki. Penelitian ini kemudian bermaksud menjelaskan dialektika antara struktur dan agen dalam upaya derutinisasi pengelolaan sampah di Kota Bandung. Secara lebih mendalam penelitian ini bertujuan melacak tapak-tapak struktural yang berhasil digalang dalam proses derutinisasi serta seberapa jauh upaya tersebut membuahkan hasil. mengubah struktur dan tatanan pengelolaan sampah yang selama ini terpraktikan dan menjadi masalah publik melalui pembentukan wacana dan berbagai program dari kegiatan terkait. Temuan penting dalam penelitian ini adalah: Pertama, Walikota menghadirkan kredo atau jargon-jargon sebagai upaya mengubah signifikansi pewacanaan yang akan terus digunakan dalam upaya derutinisasi yang akan dilakukannya. Jargon tersbut yakni, kolaborasi, Bandung Kita Tanggung Jawab Kita, Cintai Bandung dengan Aksi dan Solusi, Bukan Caci Maki. Kredo ini digunakan sebagai spirit dalam melakukan kerja-kerja pemerintahan demi mewujudkan cita-cita membangun peradaban kota. Kedua, Walikota memilih menangani mind set warga kota dengan mengkampanyekan kota bersih. Untuk sampai menjadi Kota Bersih, Walikota memberikan penekanan bahwa menyelesaikan masalah sampah adalah kewajiban bersama, sehingga yang dihasilkan adalah program-program yang sifatnya gerakan dan seremonial untuk menggugah partisipasi masyarakat. Ketiga, Walikota menggunakan media sosial sebagai sarana memperoleh dukungan publik. Walikota menginstruksikan seluruh SKPD untuk melaporkan hasil kinerjanya melalui media sosial dan memaksa masyarakat secara tidak langsung untuk melihat kinerja Walikota melalui foto-foto dan video yang diunggah di media sosial untuk menghasilkan kesan bahwa Pemkot sudah bekerja. Keempat, tapak-tapak struktural yang digalang oleh Walikota pada dasarnya merupakan sebuah upaya deradikalisasi semu sebagai strategi mengubah rutinitas masyarakat Bandung dalam menangani sampah karena pada dasarnyaWalikota sama-sama memiliki pemahaman bahwa sampah memiliki nilai ekonomi dan harus dikelola secara modern Refleksi dari temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tatanan besar yang sedang dibangun oleh Walikota dalam menangani persoalan sampah, yakni terkait peradaban kota. Maka cara-cara yang dilakukan lebih mengarah pada pembenahan masyarakat dengan melakukan pembentukan social order kesadaran kebersihan dengan budaya tertib buang sampah dan menjadikan sampah sebagai tanggung jawab bersama. Pilihan ini bukan semata-mata berasal dari kesadaran diskursif Walikota, melainkan merupakan hasil dualitas struktur dimana ia menemukan keberadaan struktur penghambat yang menjadi penyebab kegagalan Walikota dan para NGO dalam melakukan radikalisasi penaganan sampah. Dalam perjalanannya, upaya derutinisasi penanganan sampah yang dilakukan oleh Walikota mendapat banyak respon dan kritik dari aktor-aktor lain yang terlibat dalam penanganan sampah yang menandai proses dualitas struktur berjalan sangat dinamis dengan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Sekalipun upaya derutinisasi penanganan sampah belum bisa terwujud sepenuhnya, pada dasarnya Walikota sedang menyiapkan modalitas dan struktur dukungan yang lebih memadai. Yang dilakukan Walikota seolah-olah upaya deradikalisasi sebagai strategi membentuk modalitas sebagai sarana dan fasilitas dalam proses derutinisasi penaganan sampah yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk mendapat sumber daya dari tapak-tapak struktur yang digalangnya, yakni berupa dukungan publik yang akan membantu memuluskan agenda radikalisasi sampah yang ditunda, dimana radikalisasi yang menjadi tujuan pada dasarnya adalah kota bersih dengan pengelolaan sampah secara modern melalui penggunaan teknologi. Fenomena ini menjadi penanda bahwa reproduksi struktur baru merupakan sebuah perjalanan yang panjang dan sangat kompleks, serta membutuhkan banyak prasyarat sarana untuk dapat mencapai tujuan derutinisasi.
This research is motivated by the condition of Bandung as the locus of research addressing the issue of waste, that is quite crucial, even Bandung has ever dubbed as "the city of pig" and "the city of waste". The efforts to deal with the waste have been tried since the previous City Mayor with radical way and that was by changing the viewpoints of waste by viewing the waste as valuable resources. But this effort was been deadlocked and even causing a conflict. The raising of the new city mayor who has a strong support structure is considered will be able to overcome these kinds of issues, moreover supported by the mayor's capacity of knowledge. The important findings on this research are : Firstly, the Mayor presents some creeds or "jargon-jargon" as an effort to change the significant discourse that will always be used as a deroutineness effort. Those creeds are, "Kolaborasi", "Bandung Kita Tanggung Jawab Kita, "Cintai Bandung dengan Aksi dan Solusi, Bukan Caci Maki". Secondly, the Mayor chooses to address the citizen's mindset by campaigning "the clean city" movement. In order to be "the clean city", the Mayor emphasizes that resolving the waste problems is mutual responsibilities, so the programs that created should be a movement and ceremonial in nature, in order to arise public partisipation. Thirdly, the Mayor is using the social media as a tool to gain public support. Fourthly, the structural trace which raised by the Mayor is essentially a pseudo deradicalization strategy to change the routine of Bandung society in dealing with the waste, because basicly the Mayor shares the same undertanding that waste has an economic value and needs to be managed in a modern way. Moreover, this research shows that the large order which built by the Mayor on dealing with the waste, is creating the civilization of the city. Therefore, the means which produced are more directed towards the improvement of society by creating the social order that has an awareness for cleanness by considering waste as a shared responsibility. Eventhough the deroutineness efforts on waste management has not been fully crystalized, basically the Mayor is on progress preparing more adequate capital and supporting structure. The Mayor makes as if the deradicalization efforts is a strategy to form capitals as a mean for real deroutineness waste management. This aims to get resources from the structure traces that he's been created, in the form of public support that will help to pave the postponed radicalization of waste agenda, which the real radicalization objective is essentially a clean city wih modern waste management through the use of technology. This phemenon has marked that the reproduction af a new structure is a long and complicated process and requires a lot of precondition o reach the deroutineness goal.
Kata Kunci : Kata Kunci: Tapak-tapak struktural, radikalisasi, derutinisasi, dualitas struktur