Analisis Normatif-Filosofis terhadap Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia
EDI RIYADI TERRE, Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum.
2016 | Tesis | S2 ILMU HUKUM JAKARTASejak awal eksistensinya, tahun 2000, hingga sekarang ini, Pengadilan HAM Indonesia baru mengadili tiga kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ketiganya berakhir dengan apa yang para pengamat dan peneliti nilai sebagai "dimaksudkan gagal" sejak awal, pengadilan pura-pura, dan pengadilan setengah hati. Permasalahan yang muncul adalah apa hakikat sistem peradilan hak asasi manusia di Indonesia yang menjadikannya berakhir dengan kegagalan serta bagaimana potensi efektivitasnya di masa depan. Dengan meneliti hakikat dan potensi efektivitasnya diharapkan akan didapatkan jawaban berupa akar kegagalannya serta justifikasi eksistensinya di masa depan. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-filosofis dengan metode interpretatif-hermeneutik. Inti dari pendekatan normatif-filosofis adalah interpretasi. Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi tekstual, kontekstual, yang semuanya itu melibatkan hermeneutika, dan psikoanalisis yang nama lainnya adalah hermeneutika-dalam. Hasil penelitian menyingkapkan cacat ontologis dan cacat epistemologis Pengadilan HAM Indonesia. Cacat ontologis sistem peradilan hak asasi manusia di Indonesia adalah berupa kekacauan paradigmatik yang melahirkan paradoks ganda berupa kontradiksi-di-dalam-dirinya-sendiri (contradictio in terminis) dan kontradiksi performatif. Kontradiksi pertama berupa negara mengadili dirinya sendiri, sedangkan kontradiksi performatif berupa aktor dan hukum yang digunakan untuk mengadili penjahat hak asasi manusia adalah berturut-turut kolega penjahat dan hukum yang membenarkan kejahatan mereka. Cacat epistemologis Pengadilan HAM Indonesia membuatnya impoten yang berarti secara konseptual tidak memiliki potensi efektif jika tidak keluar dari paradoks hukum dan kekuasaan di hadapan kejahatan. Keadilan sebagai intensi dasar hak asasi manusia tidak mungkin tertampung hanya melalui hukum dan institusi pengadilan, apalagi untuk jenis kejahatan hak asasi manusia yang biasanya kolektif, massif dan politis. Di sisi lain, kekuasaan itu sendiri secara inheren mengandung watak jahat. Oleh karena itu mengadili kejahatan dengan kekuasaan yang justru menjustifikasi kejahatan itu jelas kontradiktif di dalam dirinya sendiri.
Since the beginning of its existence in 2000 until now, the Indonesian Human Rights Court have tried only three cases of gross human rights violations in Indonesia. They all ended with what the viewers and researchers said as "intended to fail", show trials, and half-hearted trials. The questions arose from these failure are: what is the ontological nature of the human rights justice system in Indonesia and how is the effectiveness potential of the Indonesian Human Rights Court in the future? By researching into these questions, this thesis is expected to come up with the answers of the philosophical roots of its failure and its prospective existence in the future. This research uses the normative-philosophical approach particularly the interpretative-hermeneutic method. The interpretative method performed in this research is the textual and contextual interpretation which all involve the hermeneutic analysis, particularly the psychonalysis or deep-hermeneutic. This reserch reveals both ontological and epistemological flaws of Indonesian Human Rights Court. The ontological flaw of Indonesian human rights justice system is the paradigmatic confusion which in turn bears the double-paradox which are contradiction in terms and performative contradiction. The first contradiction is that the state trials itself, while the later is that the actors who trial and laws used to trial the perpetrators of human rights violations are respectively the colleagues of the perpetrators and laws which justified their wrongdoings or violations. The epistemological flaws of Indonesian Human Rights Court makes it impotent because of the paradox of law and power before the crimes. Justice as the basic intention of human rights can not be realized only through law and its institutions, particularly in terms of gross, collective, massive and political-dimension of human rights violations. On the other hand, the power inherently has an evil nature, thus trying the crime by the power which justifies the crime itself is contradictive in itself.
Kata Kunci : hak asasi manusia, pengadilan hak asasi manusia, paradigma, paradoks, kontradiksi, ontologi, epistemologi, interpretatif-hermeneutik, human rights, human rights court, paradigm, paradox, contradiciton, ontology, epistemology, interpretative-hermeneutic.