DINAMIKA KONFLIK PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG: KASUS DI DESA DABONG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

SUPRIYONO, M.Sany Roychansyah,ST.,M.Eng.,D.Eng.;Dr.Ir.Suryanto,MSP.

2016 | Tesis | S2 Perencanaan Kota dan Daerah

Konflik pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya terjadi karena ada penetapan kawasan hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan sejak tahun 1982 padahal di dalam kawasan terdapat permukiman, tambak dan lahan pertanian. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama, seperti apa dinamika konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di Desa Dabong. Kedua, faktor-faktor apa yang dapat berperan dalam penyelesaian konflik. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deduktif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi lapangan dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dan diikuti dengan snow ball sampling. Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika konflik pemanfaatan ruang di Desa Dabong dibagi menjadi enam fase. Pertama, fase non konflik terdapat potensi konflik antara pemukim dengan Kemenhut akibat adanya perubahan permukiman menjadi kawasan hutan lindung. Fase ini dipicu oleh program transmigrasi yang menyebabkan terjadi penambahan jumlah penduduk sementara ruang yang tersedia sangat terbatas. Kedua, fase laten terjadi konflik antara Kemenhut dengan pihak lain seperti petambak, petani, BPN dan Pemerintah Daerah. Hal ini terjadi karena ada penolakan hutan lindung, penerbitan sertifikat dan pembangunan di dalam kawasan hutan lindung. Ketiga, fase pemicu terjadi konflik antara Polda Kalbar dengan petambak. Fase ketiga disebabkan karena proses penegakan hukum kepada petambak. Keempat, fase eskalasi terjadi konflik antara Dishut Kubu Raya dengan petambak akibat terjadi penurunan areal hutan lindung. Kelima, fase krisis terjadi konflik antara Pemprov dan Pemkab karena koordinasi yang kurang baik. Keenam, fase penyelesaian terjadi suasana yang kondusif (konstruktif) untuk proses penyelesaian konflik. Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini sebagai berikut. Konflik pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan lindung di Desa Dabong sebagai sebuah fenomena sosial melibatkan tiga aspek yaitu space (kawasan hutan lindung), actor (stakeholder baik pemerintah maupun masyarakat) dan activity (kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan tata pemerintahan). Dinamika konflik terjadi karena ada sifat tamak yang ditunjukkan oleh manusia atau sekelompok manusia. Actor atau stakeholder berperan penting dalam perkembangan dinamika, mempengaruhi kualitas dan kuantitas konflik yang terjadi. Konflik keruangan dan konflik koordinasi sampai saat ini belum selesai tetapi menuju proses penyelesaian atau memasuki fase penyelesaian dengan adanya beberapa upaya yang telah dilakukan. Pertama, merevisi tata ruang di kawasan hutan lindung. Kedua, membentuk Tim IP4T. Kedua upaya tersebut cukup kondusif karena mampu merubah sikap kompetitif menjadi sikap komunikatif.

The conflict of spatial utilization in the protected forest areas at the Dabong Village of Kubu District Kubu Raya Regency occurred because of the protected forest areas by the Ministry of Forestry since 1982 when there were settlements in the shrimp farms area and farmland. This study was conducted to answer two research questions. First, what kind the dynamics of conflict spatial utilization that occur in Dabong Village. Second, the factors that may play a role in conflict resolution. The study used a qualitative method with a deductive approach. Data were collected through interviews, observation and documentation. The sampling technique is purposive sampling and followed by a snow ball sampling. The results showed that the spatial utilization dynamic conflicts in Dabong Village divided into six phases. First, non-conflict phase there is a potential conflict between settlers with Ministry of Forestry due to changes in settlement into protected forest areas. This phase is triggered by the transmigration program that led to the addition of the total population while the space available is very limited. Second, the latent phase there is a conflict between the Ministry of Forestry with other parties such as farmers, shrimp farm owners, National Land Agency and Local Government. This happens because there is resist of protected forest areas, the making of certificates and development in protected forest areas. Third, phase trigger of a conflict between West Kalimantan Provincial Police with shrimp farm owners. This phase due process of law enforcement to shrimp farm owners. Fourth, the escalation phase of a conflict between the Kubu Raya Forestry Office with shrimp farm owners due to the reduction in protected forest areas. Fifth, the crisis phase of a conflict between provincial and regency because of poor coordination. Sixth, the resolution phase occurs conducive atmosphere (constructive) to the process of conflict resolution. The conclusions in this study as follows. The conflict of spatial utilization inside the protected forest areas in the Dabong Village as a social phenomenon involves three aspects: the space (protected forest areas), actors (both governmental and villagers) and activity (social and economic life of villagers and governance). The dynamics of the conflict occurred because there is greed shown by government employees and villagers. Actors or stakeholders play an important role in the dynamic development, affect the quality and quantity of the conflict. A spatial and coordination conflicts so far have not completed but towards the resolution process indicated by several efforts that have been made. Firstly, revising the spatial planning in the protected areas. Second, create a team IP4T. These efforts is quite conducive for being able to change the competitive attitude into communicative attitude.

Kata Kunci : Dinamika Konflik, Pemanfaatan Ruang, Penyelesaian Konflik.