GEOGRAFI EKONOMI PEMBANGUNAN REGIONAL SUMATERA 2001-2012

ARIVINA RATIH YULIHAR TAHER,SE,MM , Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro, M.Soc.Sc; Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev

2016 | Disertasi | S3 Ilmu Ekonomi

Sumatera adalah salah satu laboratorium menarik di kawasan barat Indonesia karena permasalahan dualisme ekonomi yang terjadi. Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan adalah tiga dari sepuluh provinsi yang memiliki kontribusi terbesar dalam PDRB harga konstan 2000 di Sumatera. Selain itu, delapan dari sepuluh provinsi merupakan penghasil migas, tetapi kontribusi sektor pertambangan terbesar hanya di Riau dan Sumatera Selatan saja. Provinsi lain—kecuali Kepulauan Riau—memiliki sektor pertanian sebagai kontributor terbesar dalam PDRB harga konstan 2000. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pusat pertumbuhan serta daerah tertinggal, keterkaitan spasial pusat pertumbuhan dengan wilayah tetangganya, sektor unggulan dan perubahan struktural dari aktivitas sektor ekonomi. Studi juga menguji hipotesis Kuznets di Sumatera untuk mengetahui pola ketimpangan yang terjadi, serta menguji faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan. Pekanbaru menjadi satu-satunya wilayah yang teridentifikasi sebagai pusat petumbuhan di dua periode. Daerah tertinggal yang teridentifikasi di periode 2001-2006 lebih banyak dibandingkan 2007-2012, dan secara geografis cenderung berada di bagian Barat Sumatera. Pengamatan menggunakan Indeks Moran menginformasikan bahwa pertumbuhan ekonomi beberapa pusat pertumbuhan berkontribusi terhadap wilayah tetangga, mereka adalah Banda Aceh, Pidie, Sarolangun, dan Bungo. Sementara itu, Aceh Besar dan Pidie Jaya menjadi dua pusat pertumbuhan yang menerima efek pertumbuhan ekonomi dari wilayah tetangga mereka. Sektor unggulan dengan metode SLQ dan DLQ menyajikan hasil yang beragam untuk semua kabupaten/kota, secara umum sektor pertanian menjadi unggulan di sebagian besar daerah tertinggal tetapi tidak di pusat pertumbuhan. Pangsa sektor pertanian mengalami penurunan di semua kabupaten/kota Sumatera, sehingga sebagian besar wilayah mulai mengalami pergeseran struktur ekonomi kea rah sektor-sektor sekunder dan tersier. Melalui penggunaan Indeks Transformasi Struktural dan diagram pencar, diketahui bahwa perubahan struktur mayoritas kabupaten/kota berjalan lambat untuk wilayah dengan pertumbuhan PDRB per kapita rendah. Ketimpangan yang terjadi Sumatera terbukti secara statistik berbentuk U terbalik (inverted U curve), hal ini berlaku juga saat variabel kontrol dimasukkan dalam pengujian. Sementara itu, pengujian dengan data panel menginformasikan bahwa dana bagi hasil sumber daya alam (DBH), derajat keterbukaan (Open), dan pangsa industri pengolahan (Shind) secara statistik berpengaruh positif terhadap ketimpangan. Investasi domestik (ID), rasio penduduk kota (Kota) dan rata-rata lama sekolah (AYS) secara statistik berpengaruh negatif terhadap ketimpangan.

Sumatra is one of the interesting laboratories in the western region of Indonesia because of the problem of dualism. North Sumatra, Riau and South Sumatra are three out of ten provinces that have the largest contribution to GDRP at 2000 constant price in Sumatra. In addition, eight of the ten provinces are oil and gas producers, but only Riau and South Sumatra are the largest contributors of the mining sector. Other provinces, except Riau Islands, have agricultural sectors as the largest contributors to GDRP at 2000 constant market price. This study is aimed at identifying and analyzing the growth pole and underdeveloped areas, spatial linkages that occur between regencies/cities, leading sectors and structural changes of the economic sector activity. The study also tested the hypothesis of Kuznets in Sumatra to identify patterns of inequality, as well as examine the factors that affect inequality. Pekanbaru was the only region identified as a growth center within two periods. The number of underprivileged regions identified in the period of 2001-2006 was more than those identified in the period of 2007-2012, and geographically tended to be in the western part of Sumatra. Observations using the Moran index suggested that economic growth in some growth centers contributed to the neighboring regions, including Banda Aceh, Pidie, Sarolangun and Bungo. Meanwhile, Aceh Besar and Pidie Jaya were found to be two growth centers affected by economic growth in their neighboring regions. Leading sectors analyzed using Static Location Quotient (SLQ) and Dynamic Location Quotient (DLQ) produced diverse results for all regencies/cities; in general, agricultural sector was superior in most underprivileged regions but not in the growth centers. The share of agricultural sector decreased in all regencies/cities in Sumatra so that most regions began to experience a shift in economic structure toward secondary and tertiary sectors. The Structural Transformation Index and scatter plot diagram showed that the structure shift in the majority of the regencies/cities run slowly, especially for regions with low GDP per capita growth. Regional economic growth inequality in Sumatra was statistically proven to be inverted-U shape curve. This also applied when control variables were included in the testing. Meanwhile, testing using panel data showed that, statistically, non-tax share (DBH), degree of openness (Open), and share of processing industries (Shind) had a significant positive effect on the inequality. Conversely, domestic investment (ID), the ratio of urban population (Kota), and the average length of study statistically (AYS) had a negative effect on the inequality.

Kata Kunci : Pusat pertumbuhan, Daerah tertinggal, Spasial, Ketimpangan, Kuznets