ACEH DALAM KUASA AWAK NANGGROE (STUDI KEMUNCULAN ELIT BARU DARI KALANGAN MANTAN PEJUANG GAM PASCA PENANDATANGANAN NOTA KESEPAHAMAN MOU HELSINKI)

IROMI ILHAM, Prof. Dr. Irwan Abdullah

2015 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGI

Sepuluh tahun silam, tepatnya pada 15 Agustus 2005, terjadi dialog perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia yang melahirkan nota kesepahaman yang dikenal dengan nama MoU Helsinki. Peristiwa tersebut menjadi gerbang transformasi bagi masyarakat Aceh yang berimplikasi pada perubahan konstelasi sosial secara umum, salah satu hal yang paling menonjol adalah munculnya mantan pejuang GAM sebagai kaum elit baru di Aceh. Lantas, bagaimana kondisi sosio-kultural Aceh ketika berada dalam kuasa awak nanggroe?, pada titik inilah penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menjawab tiga pertanyaan penelitian, yaitu: pertama, bagaimana proses terbentuknya elit baru di Aceh; kedua, bagaimana kehadiran elit baru memberi implikasi sosial-budaya dalam masyarakat Aceh; dan ketiga, bagaimana resisten masyarakat terhadap elit yang sedang berlangsung. Penelitian ini dilaksanakan di kota Banda Aceh. Meskipun demikian, pembatasan wilayah tidak bersifat kaku karena selama saya berada di lapangan yang terhitung sejak awal November 2014 sampai akhir Februari 2015, saya selalu menampung berbagai informasi dan fakta yang relevan yang kemudian diolah menjadi data dalam penelitian ini. Penelitian ini memperlihatkan bahwa terbentuknya elit baru dari kalangan mantan pejuang GAM di Aceh dipengaruhi oleh kemampuan GAM dalam mereproduksi nama besar Hasan Tiro sehingga masyarakat Aceh menerima GAM sebagai "anak ideologis" Hasan Tiro. Keberadaan Negara juga ikut melegitimasi kemunculan elit baru melalui hukum sebagai hasil dari konsensus perdamaian. Selanjutnya, trauma kolektif masyarakat Aceh yang dipimpin oleh "orang luar" selama puluhan tahun di masa pra-Helsinki membuat masyarakat Aceh ingin menitipkan harapan kepada awak nanggroe. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, bencana kemanusiaan lainnya muncul kepermukaan. Masyarakat merasa adanya ketimpangan sosial yang dipraktekkan oleh kalangan elit baru yang dulunya mengaku diri sebagai "pejuang keadilan". Kegagalan resiprositas yang diperlihatkan oleh kaum elit sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyat melahirkan sikap resistensi dari masyarakat, baik yang terjadi secara insinuasi atau dalam konsep Scott disebut hidden transcript, maupun yang terjadi secara terang-terangan, seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Minimi. Dengan demikian, propaganda Nyoe keun ie mandum leuhob, nyoeu keun droe teuh mandum gob yang dulunya diterima secara massal, sudah melahirkan antitesis baru dengan Nibak ngeun ie, mangat ngeun leuhob, nibak ngeun droeu teuh, mangat that ngeun gob.

Ten years ago, on August 15, 2005, there was a peace dialogue between the Free Aceh Movement and the Indonesian government in Helsinki, Finland that resulted the Memorandum of Understanding (MoU). It has become a gateway transformation for Aceh people that implicated for the social-political constellation alteration. One of the most prominent is the emergence of ex-combatants as the new elite in Aceh. So, how the socio-cultural when it is in "awak nanggroe" power?, Based on this point that the study was conducted. Therefore, this study effort to answer three research questions: the first, how the process of the new elite in Aceh formed; the second, how the presence of the new elite socio-cultural give implications in Acehnese society; and the third, how the resistant that emerged by Aceh people toward the new ongoing elite power. The research was conducted in Banda Aceh. Nonetheless, the restrictions of region is not rigid because as long as I was in the field that beginning from November 2014 until the end of February 2015, I have accommodate a variety of information and relevant facts which are then processed into data in this study. This study shows that the formation of the new elite of the former combatants in Aceh affected by GAM's ability in reproducing the great name of Hasan Tiro, so the Acehnese receive GAM as a "ideological son" of Hasan Tiro. In addition, the state also legitimized the emergence of the new elite through the law as a result of the peace consensus. Furthermore, the collective trauma of the Aceh people, led by "outsiders" for decades in the pre-Helsinki makes the people want to entrust the expectations under the "awak nanggro"s power. However, over the time, other "humanitarian catastrophe" surface when Aceh people feel the social inequality which is practiced by the new elite that was once claimed themselves as the "fighters for justice". Reciprocity failure is shown by the new elite as a form of responsibility to the Aceh people make the resistance from the community, both occurred in the insinuation and that occurred openly, as practiced by the Abu Minimi. Thus, the propaganda nyoe keun ie, mandum leuhob; nyoeu keun droe teuh, mandum gob was formerly received in bulk has spawned a new antithesis nibak ngeun ie, mangat ngeun leuhob; nibak ngeun droeu teuh, mangat that ngeun gob.

Kata Kunci : Aceh, GAM, MoU Helsinki, Elite, Awak Nanggroe, Resistensi