PERLAWANAN ORANG KUAT LOKAL TERHADAP PEMERINTAH PUSAT (Studi tentang Penolakan terhadap BPWS di Kabupaten Bangkalan)
MUTMAINNAH, S.SOS M.SI, Prof. Dr. Susetiawan, SU
2015 | Disertasi | S3 Ilmu SosiologiPasca runtuhnya kekuasaan Soeharto, ada dua fenomena menarik yang menjadi isu penting dalam studi tentang politik lokal di Madura. Pertama, otonomi daerah yang memberi kebebasan lebih luas bagi elit politik lokal untuk tampil ke panggung politik. Kedua, percepatan pembangunan Madura pasca beroperasinya Jembatan Suramadu di mana pemerintah pusat menugaskan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) untuk menjadi fasilitator percepatan pembangunan Madura. Dua hal ini dalam pelaksanaannya memicu konflik pusatdaerah di mana pemerintah daerah Madura merasa kewenangannya untuk mengatur daerahnya sendiri dibatasi oleh kewenangan BPWS yang sangat luas. Dalam situasi konflik pusat-daerah ini, orang kuat lokal Bangkalan hadir menjadi sosok yang memimpin perlawanan terhadap pemerintah pusat. Beberapa pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini : pertama, bagaimana muncul dan bertahannya orang kuat lokal Bangkalan? Kedua, bagaimana orang kuat lokal Bangkalan melakukan mobilisasi sumber daya melawan pemerintah pusat? Ketiga, apa implikasi perlawanan orang kuat lokal Bangkalan? Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti menggunakan Teori Orang Kuat Lokal (Local Strongmen) Joel Migdal (1988) John Sidel (1999) dan Vedi Hadiz (2010). Teori Migdal tentang kemunculan orang kuat lokal dapat menjelaskan munculnya orang kuat lokal pada masyarakat Bangkalan yang paternalistik. Teori Sidel berguna untuk menjelaskan bagaimana orang kuat lokal mampu bertahan. Teori Hadiz tentang elit lokal yang predator dapat menjelaskan karakteristik orang kuat lokal Bangkalan. Selain itu Teori Mobilisasi Sumber daya (Resource Mobilization Theory) yang dikembangkan Edward dan McCharty diadaptasi untuk menjelaskan bagaimana orang kuat lokal Bangkalan melakukan mobilisasi sumber daya melawan pemerintah pusat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriptif karena menjelaskan fenomena yang dipelajari dengan memahami makna yang tersimpan dalam serangkaian peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan dan berhubungan satu sama lain. Unit analisisnya adalah individu yang merupakan bagian dari kelompok dan komunitasnya seperti kiai, blater (preman), aktivis LSM, birokrat dan akademisi. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam yang dilengkapi dengan penelusuran dokumen pemerintah dan berita di media massa. Analisis data dilakukan melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Metode pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan penyidik. Hasil penelitian menunjukkan munculnya orang kuat lokal Bangkalan didukung oleh budaya masyarakat Bangkalan yang paternalistik. Ia mampu bertahan karena dapat menempatkan keluarga dan orang dekatnya dalam struktur kekuasaan. Wataknya yang predatoris membuatnya mengendalikan kehidupan ekonomi politik untuk tujuan kepentingan pribadi. Orang kuat lokal Bangkalan melakukan mobilisasi sumber daya berupa sumber daya manusia, material, moral, kultural dan sosial organisasional. Mekanisme akses sumber daya dilakukan melalui agregasi, produksi sendiri dan kooptasi. Mobilisasi sumber daya yang dilakukan antara lain dengan memimpin aksi para bupati di Madura dan Walikota Surabaya mempersoalkan eksistensi BPWS melalui surat kepada Presiden SBY dan Dewan Pengarah BPWS, demostrasi menuntut pembubaran BPWS, judicial review Perpres BPWS, lobi-lobi politik melalui Dewan Pembangunan Madura dan menghalangi proses pembebasan tanah. Perlawanan orang kuat lokal Bangkalan berdampak terhadap percepatan pembangunan Madura. Pembangunan rest area Suramadu di Bangkalan tidak dapat dilakukan karena terkendala pembebasan tanah sehingga percepatan pembangunan Madura harus dimulai dari Sampang, x Pamekasan dan Sumenep. Beberapa aktivis LSM di Bangkalan yang bergabung dalam KoRPP (Koalisi Rakyat Peduli Pembangunan Madura) dan GeRaM (Gerakan Rakyat Madura) melakukan sejumlah aksi di Jakarta dan menyatakan mendukung percepatan pembangunan Madura. Namun aksi mereka tidak signifikan sehingga percepatan pembangunan Madura tidak dapat dilaksanakan di Kabupaten Bangkalan.
After the dominance of Soeharto era, there are two interesting phenomena that become important issue in the study about local politics in Madura. First, local autonomy that gives freedom largely for local political elite to appear in political stage. Second, the acceleration of Madura development after the operation of Suramadu bridge when central government commanded the agency of Suramadu area development (Badan Pengembangan Wilayah Suramadu/BPWS) to be a facilitator of development acceleration in Madura. Practically, these phenomena cause conflict between center and several local government because they feel that their right to manage their own area are limited by the right of BPWS. In this central-local government relation, the Bangkalan local strongmen appear to leader a challenge to central goverment. This study focuses in the following problems : how Bangkalan local strongmen appear and survive? How he mobilize resources to challenge central government? Third, what the implication for Madura development acceleration? To answer these problems, the researcher uses the theory of local strongmen by Joel Migdal (1988), John Sidel (1999) and Vedi Hadiz (2010). Migdal theory explains the existence of Bangkalan local strongmen in paternalistic society. The theory of Sidel can uses to explain why local strongmen inhibit Madura development progress. Hadiz theory about the existence and the strength of local strongmen describes the characters of Bangkalan local strongmen who are predatory : doing political mobilisation, money politics, violence, intimidation for their personal need. The researcher also adopt resources mobilization theory developed by Edward and McCharty (2004) to explain how Bangkalan local strongmen mobilize resources to challenge central government. This research is qualitative and descriptive research because it describes the phenomena by understanding the meaning implied in incident that happens continuously and relates to the phenomena. The analytical unit is individual who is a part of group and community such pious men, politician, activist of non-government organisation (NGO), government official and academicians. The data is gathered by depth interview, observation, and deep interview (thick description) completed by researching formal governance document and news from mass media. This analysis data uses data reduction, data presentation, and conclusion. The method of checking data validity uses the triangulation of source and investigator. This research shows that the existence of Bangkalan local strongmen is supported by paternalistic society. He can survives because he has succeeded in having himself or his family members placed in critical state posts to ensure allocation of resources according to his own rules. His predatory character can controls economic and political life to support his personal needs. Bangkalan local strongmen mobilize moral, cultural, social organizational, human and material resources to challenge central government. The mechanism to acces these resources are : aggregation, self production and cooptation/appropriation. He leaders the regents in Madura and Surabaya to problematise the existence of BPWS through letters to President Susilo xii Bambang Yudhoyono, demonstration to insist BPWS dismissal, propose judicial review presidential decision about BPWS, support Dewan Pembangunan Madura (DPM) to lobbying BPWS and command village bureucrat to obstacle land acquisition. This challenge is implicated to the Madura development acceleration. Suramadu rest area development cannot develop because land acquisition has failed so that the central government has to move their plan to other regencies such as Sampang, Pamekasan and Sumenep. Several NGO activists in Bangkalan found KoRPP (Koalisi Rakyat Peduli Pembangunan Madura) and GeRaM (Gerakan rakyat Madura) to challenge Bangkalan local strongmen policy about the Madura development acceleration but they did not succeed so that the Madura development acceleration cannot begin from the Bangkalan regency.
Kata Kunci : Local Strongmen, Resource Mobilisation, Local-Central Govrnment